JAKARTA – Ketersediaan infrastruktur energi sangat mendesak untuk direalisasikan. Penggunaannya memang tidak akan langsung dalam waktu dekat tapi beberapa tahun mendatang. Jika tidak maka upaya pemerataan energi di Indonesia akan semakin sulit.

Rudi Rubiandini, mantan wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  mengungkapkan Indonesia dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi negara importir, baik itu minyak atau gas. Saat ini produksi migas masih berjalan, tapi dengan peningkatan demand yang tidak diimbangi dengan produksi maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada jalan selain impor.

Data Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan permintaan energi semakin memebesar dalam kurun waktu 2020-2050 dan ini harus diimbangi dengan diversifikasi dengan meningkatkan kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) dari 11% menjadi 15%.

“Volume EBT bertambah,  tapi secara persentase tidak terlalu signifikan. Migas dan coal masih menguasai sampai 2050 sekalipun,” kata Rudi, Kamis (20/8).

Jika membaca data yang sudah diproyeksikan DEN maka mau tidak mau infrastruktur harus siap karena energi akam digunakan untuk bahan bakar transportasi dan industri.

Untuk bisa penuhi kebutuhan energi yang terus naik maka impor tidak dapat terelakkan. Impor sebenarnya juga belum menyelesaikan masalah karena tetap harus didistribusikan sehingga peran infrastruktur sangat vital.

“Infrastruktur harus segera dibangun, pipa-pipa harus segera dibangun, fasilitas untuk memasukkan LNG baik dengan membeli dari luar negeri harus dibangun karena komunikasi dari pada gas melalui pintu2 itu. jangan besok-besok, karena hari ini kita membangun 5 tahun baru jadi, 10 tahun  baru hidup,” ungkap Rudi.

Menurut Rudi, jargon hemat energi yang didengungkan banyak orang bukanlah solusi untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi energi. Indonesia masih perlu tumbuh dan berkembang, pertumbuhan itu konsekuensinya adalah peningkatan konsumsi energi.

“Kekurangan energi nggak bisa dijawab dengan penghematan. Jadi kalau ada orang bicara mari hemat energi, itu bukan jawaban karena posisi ekonomi Indonesia yang masih harus mengejar ketertinggalan. Kita sedang mau menikmati prosperity, masih mau menikmati kemakmuran maka usaha pemenuhan energi jadi satu-satunya jalan,” kata Rudi.

Jika mau mengurangi ketergantungan terhadap impor tapi tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, maka salah satu solusinya menurut Rudi adalah pemerintah bisa meningkatkan fokus terhadap pengembangan EBT.

Prediksi pemerintah pada 2020 kebutuhan energi 250 juta ton setara minyak dan pada 2050 bisa mencapai 1.000 ton setara minyak. Artinya naik tiga kali lipat atau setara dengan kenaikan 4% per tahun.

“Kenaikan kebutuhan energi sebesar 4% per tahun hanya bisa diimbangi dgn kenaikan energi nonmigas 5,5% per tahun sehingga menjadi kesempatan besar bagi pengembang EBT,” kata Rudi.(RI)