JAKARTA- Anggota Komisi Energi (VII) Dewan Perwakilan Rakyat Mulyanto mendorong pemerintah untuk segera mengukur ulang secara cermat tingkat polusi udara di DKI Jakarta. Monitoring dengan low cost sensor diragukan akurasinya karena teknik ini tidak diketahui sumber atau penyebab utama munculnya polusi tersebut, apakah berasal dari pembakaran sampah, transportasi, industri, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), atau lainnya.

“Pemerintah dapat menugaskan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan penelitian ini agar hasilnya akurat dan yang utama dapat diketahui sumber-sumber polutan yang menyebabkan polusi tersebut,” ujar Mulyanto, Kamis (17/8/2023).

Dia mendukung perlunya tindakan kuratif dan preventif yang tepat (research based policy) sehingga masyarakat Jakarta dan sekitarnya dapat segera menghirup udara segar.

Mulyanto menduga PLTU berperan bagi polusi udara, namun belum diketahui seberapa besar kontribusinya. Apalagi untuk yang memiliki absorber debu. “Ini harus diteliti dengan cermat sehingga solusi yang akan diambil dalam rangka menyediakan udara yang segar bagi masyarakat dapat benar-benar tercapai dan tidak mengorbankan sisi pembangunan di sektor lain,” katanya.

Dalam kajian IQAir, perusahaan asal Swiss yang mencatat kualitas udara di setiap negara, Selasa (8/8/2023), Jakarta sebenarnya bukan kota yang paling polutif di Tanah Air. Kajian IQAir menunjukkan bahwa Jakarta berada di peringkat 10 indeks kualitas udara nasional. Berdasarkan data IQAir, Kota Serang, Banten malah menjadi wilayah dengan kualitas udara terburuk di level 167 AQI US dengan kategori “Tidak Sehat”. AQI US adalah indeks kualitas udara berstandar Amerika Serikat yang mengukur kandungan polusi di udara dan risiko kesehatan yang akan muncul,

Setelah Kota Serang, kota terpolusi berikutnya adalah Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta: 163 (status tidak sehat), Tangerang, Banten: 163 (status tidak sehat) Tangerang Selatan, Banten: 161 (status tidak sehat) Bogor, Jawa Barat: 156 (status tidak sehat) Malang, Jawa Timur: 133 (status sedang) Medan, Sumatera Utara: 124 (status sedang) Banjarbaru, Kalimantan Selatan: 122 (status sedang) Semarang, Jawa Tengah: 117 (status sedang). Jakarta hanya 114 atau status sedang.

Ali Ahmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), menilai jika dilihat rerata posisinya terhadap kota-kota besar dunia, Jakarta rerata di posisi ke-7 (rerata : 155) setelah New Delhi – India (rerata : 217), Beijing – China (rerata : 210), New York – USA (rerata : 191), Karachi – Pakistan (rerata : 170), Doha – Qatar (rerata : 164) dan Johannesburg – Afrika Selatan (rerata : 162). Kondisi tersebut (AQI – IQAir) juga terus berubah seiring pergantian musim dan upaya pemerintah di setiap negara untuk mengatasi polusi di wilayahnya. “Posisi Jakarta juga berubah-ubah dari waktu ke waktu menyesuaikan kondisi alam dan lingkungan di sekitarnya. Itu lumrah,” ujarnya.

Ali menjelaskan, kondisi sebulan terakhir ini polusi udara di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia memburuk (rerata AQI > 150). Hal ini harus segera dilakukan tindakan pencegahan dan perbaikan. “Salah satunya dengan pengaturan industri, pengendalian konsumsi BBM dan pengkajian kembali energi alternatif untuk mengurangi konsumsi batubara di PLTU,” katanya.

Menurut dia, pengkajian lingkungan (termasuk polusi udara) tidak bisa parsial, harus spasial, komprehensif dan berbasis multiregional. Termasuk jika ingin mengetahui penyebab polusi di suatu wilayah harus dilakukan riset terlebih dahulu. Ali menyarankan merekomendasikan tiga hal. Pertama, menguji material udara untuk mengetahui material polutan yang ada di dalamnya sehingga bisa ditetapkan dari sumber apa polutan tersebut.

Kedua, prgerakan udara itu sangat volatile sehingga untuk menentukan darimana sumber polutan yang terbawa harus memperhatikan aspek geografis, meteorologis dan klimatologis. “Contohnya, kondisi polusi di musim kemarau berbeda dengan musim hujan,” katanya.

Ketiga, memahami aspek sosio-ekonomi masyarakat yang menjadi sebab dan sumber utama polutan. “Kesadaran lingkungan yang rendah bisa menjadi masalah utama polusi di suatu wilayah,” ujarnya

Karena itu, lanjut Ali, terkait polusi di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, saat ini yang dibutuhkan adalah penanganan dampak jangka pendek dan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari penyakit akibat polusi yang mulai ke titik tidak sehat. Selanjutnya melakukan riset (fisik polutan, kewilayahan, klimatologi dan sosio-ekonomi) sebagai data dan sumber rujukan akademis untuk penanganan kedepan. (RI/DR)