JAKARTA – Kinerja empat emiten batu bara, PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Harum Energy Tbk (HRUM), empat perusahaan batu bara yang listing di Bursa Efek Indonesia, berpotensi meningkat imbas kesepakatan penjualan batu bara Indonesia ke China. Kesepakatan jual beli batu bara antara CCTDA (China Coal Transportation and Distribution) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) senilai US$1,46 miliar atau Rp20,6 triliun akan berlangsung selama tiga tahun.

Berdasarkan laporan yang dirilis Lifepal.co.id, Jumat (4/11), kerja sama CCTDA dan APBI-ICMA diproyeksi akan berdampak positif bagi emiten-emiten yang bergerak di bidang batu bara. Lifepal mengidentifikasi keempat emiten perusahaan batu bara tersebut memiliki porsi penjualan batu bara ke China yang cukup besar. Pada periode akhir 2015 hingga November 2020, keempat emiten pertambangan tersebut kinerjanya sanggup mengalahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Indeks Mining, indeks emiten-emiten pertambangan tempat mereka bernaung.

Adaro Energy adalah perusahaan yang merupakan produsen batu bara terbesar di belahan bumi selatan dan keempat terbesar di dunia. Perusahaan ini mengoperasikan pertambangan batu bara tunggal terbesar di Indonesia (di Kalimantan Selatan) dan bertujuan menjadi grup pertambangan dan energi besar di Asia Tenggara. Pergerakan harga Adaro sejak Desember 2015 sampai November 2020 sudah tumbuh sebesar 169,90%.

Berdasarkan laporan hingga kuartal III 2020, dari total volume penjualan batu bara Adaro yang mencapai 40,76 juta ton, 13% di antaranya diserap pasar China. Penjualan batu bara pada sembilan bulan 2020 tercatat turun 9% dibanding periode yang sama 2019 sebesar 44,66 juta ton.

Kinerja saham Indo Tambangraya, anak usaha Banpu Plc, perusahaan energi asal Thailand, juga tercatat naik signifikan. Sejak Desember 2015 sampai November 2020, harga saham Indo Tambangraya sudah tumbuh sebesar 106,99%. Seperti perusahaan batu bara lainnya, pendapatan Indo Tambangraya juga tercatat turun. Hingga September 2020, pendapatan tercatat US$871,88 juta, turun dibanding periode sembilan bulan 2019 sebesar US$1,3 miliar.

Pertumbuhan harga saham terbesar dicatat Harum Energy. Sejak Desember 2015 sampai November 2020, saham Harum tumbuh sebesar 239,26%. Harum Energy, sebagai induk perusahaan, didirikan pada 1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batu bara dan kegiatan logistik berlokasi di Kalimantan Timur.

Aldo Jonathan, Data Analyst Lifepal dalam laporannya menyebutkan, meski kinerja Harum Energy mampu mengalahkan indeks mining dan IHSG, dan merupakan yang tertinggi di antara keempatnya, berdasarkan laporan keuangan perusahaan, tercatat adanya penurunan penjualan sejak kuartal III 2018 hingga kuartal III 2020.

Sementara itu, dari segi laba komprehensif, tercatat adanya kenaikan pada kuartal III 2020 meskipun terlihat adanya penurunan penjualan. Hal ini dikarenakan adanya tambahan pendapatan di sektor pendapatan lainnya. Harum mencatatkan penjualan sebesar US$136,1 juta pada kuartal III 2020, dan mendapat laba komprehensif sebesar US$26,8 juta.

Meskipun performa keuangan Harum belum begitu bagus, adanya peluang peningkatan ekspor ke China, maka penjualan Harum pun diprediksi melonjak. Pada kuartal III 2020, Harum melakukan ekspor ke China dan Korea sebesar US$76,5 juta.

Berkah kesepakatan penjualan batu bara ke China juga bakal dirasakan Bukit Asam. Berdasarkan laporan keuangannya, Bukit Asam melakukan ekspor ke China sebesar Rp219,1 miliar pada kuartal III 2020. Namun, tercatat adanya penurunan penjualan jika dibanding periode yang sama 2019.

Total penjualan perusahaan yang berada dalam naungan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai holding BUMN tambang, pada kuartal III 2019 tercatat sebesar Rp16,2 triliun, turun menjadi Rp12,8 triliun pada kuartal III 2020. Penurunan penjualan tersebut juga mendorong penurunan pada laba komprehensif emiten tersebut.

Saham Bukit Asam sejak Desember 2015 sampai dengan November 2020, tercatat tumbuh sebesar 166,30%.(AT)