JAKARTA – Perubahan iklim merupakan tantangan global terbesar saat ini. Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celcius selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1,8 – 4 derajat Celcius dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2,5 – 4,7 derajat Celcius jika dibandingkan periode pra-industri atau tahun 1750.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tetap optimistis dan menjaga semangat untuk melaksanakan berbagai komitmen yang telah Indonesia sampaikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Berbagai komitmen tersebut mencakup aksi mitigasi, adaptasi, mobilisasi sumber daya, dan inventarisai gas rumah kaca dan monitoring, pelaporan, dan verifikasi.

Guna mensinergikan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, Kementerian LHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) menyelenggarakan sosialisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim dan implementasinya di tingkat nasional.

“Upaya kami (KLHK) memastikan semua K/L (Kementerian/Lembaga) siap melaksanakan NDC mulai 1 Januari 2021 melalui rapat-rapat, FGD koordinasi kebijakan dan teknis,” ungkap Ruandha A Sugardiman, Direktur Jenderal PPI Kementerian LHK, kepada Dunia Energi, Selasa (8/12).

Indonesia mempunyai komitmen kepada masyarakat internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri, sampai 41% dengan kerja sama internasional, dan secara bersamaan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Komitmen tersebut termuat dalam NDC yang tahun ini merupakan awal implementasi sesuai dengan Paris Agreement.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung implementasi NDC adalah dengan meningkatkan peran serta aktif seluruh pihak, untuk dapat mencapai target 20.000 kampung iklim pada 2024.

Permasalahan dan dampak perubahan iklim telah mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC. Dalam hal ini UNFCCC bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomi.

Mempertimbangkan perlunya kerja sama global dalam menangani dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia turut serta meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan menjadi begara Pihak UNFCCC, Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.

Indonesia turut pula menjadi negara pihak pada beberapa perjanjian turunan dari UNFCCC, yaitu Kyoto Protocol, yang diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the UNFCCC. Kemudian Doha Amendment, diterima (accepted) melalui instrument Piagam Penerimaan Doha Amendment to the Kyoto Protocol 6 Agustus 2014. Dan yang terbaru adalah Paris Agreement, yang diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the UNFCCC pada 24 Oktober 2016, sebagai rezim baru pengendalian perubahan iklim pasca 2020.

Ruandha menyampaikan bahwa pada tahun 2020 Green Climate Fund (GCF), salah satu lembaga pendanaan iklim global bentukan UNFCCC, telah menyetujui proposal Indonesai mengenai REDD+ Results-Based Payment, dan mengucurkan pendanaan senilai US$ 103,8 juta.

“Untuk penurunan emisi GRK sektor energi dilakukan oleh perusahaan pertambangan dengan Kementerian ESDM, tidak dengan KLHK. Kegiatannya, antara lain reklamasi lahan pasca tambang di DAS lokasi izin,” tandas Ruandha.(RA)