JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ternyata langsung merespon informasi adanya nikel kadar rendah yang diekspor pada  2020 ke China. Padahal sesuai aturan yang ada, pemerintah telah melarang nikel kadar rendah ke luar dari tanah air sebelum diolah terlebih dulu menjadi produk turunan.

Berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, Direktorat Jendral Mineral dan Batu bara (Minerba) yang dikomandoi oleh Ridwan Djamaluddin, langsung menggelar pertemuan mendadak pada Kamis (14/10) atau dua hari setelah Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia membeberkan data masuknya nikel kadar rendah ke China dari Indonesia berdasarkan data dari pemerintah China.

Dalam surat No 44.Und/MB.04/DJB/2021 yang bersifat segera, terungkap bahwa Ridwan Djamaluddin, Dirjen Minerba memimpin langsung rapat untuk membahas pemerintaan tentang ekspor nikel oere pada tahun 2020 yang disampaikan oleh Faisal Basri sehari sebelumnya dalam sebuah diskusi virtual.

Dalam surat tersebut Ditjen Minerba mengundang para pihak yang terlibat dalam kegiatan produksi serta ekspor nikel, misalnya Dirjen Perdagangan Luar Negeru Kementerian Perdagangan, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Industri Logam, Mesin, alat Transportasi dan Elektronika, Bareskrim Polri, Kepala Badan Statistik hingga Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakat Tiongkok.

Dalam undangan juga terdapat jajaran Ditjen Minerba, pelaku usaha pengolahan dan pemurnian nikel, pelaku usaha tambang nikel serta para surveyor.

Belum diketahui apa saja yang dibahas dalam pertemuan mendadak tersebut. Hingga berita ini ditulis juga Ridwan Djamaluddin masih belum membalas pertanyaan Dunia Energi yang disampaikan melalui aplikasi WhatsApp.

Faisal Basri sendiri menilai pemerintah telah kecolongan karena meskipun adanya larangan, toh nikel ore yang jelas-jelas diwajibkan untuk diolah dulu di dalam negeri ternyata masih bisa dinikmati oleh industri di China.

“Pada tahun 2020 pemerintah melarang ekspor, berdasarkan data BPS tidak ada ekspor utk kode HS 2604. Tapi, General Customs Administration of China mencatat pada tahun kemarin masih ada 3,4 juta ton impor dari indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014 sebesar US$193,6 juta atau setara Rp2,8 triliun dengan kurs tahun 2020 Rp14,577 per dolar AS,” kata Faisal.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya bisa melacak para pelaku usaha yang bandel dan sebabkan kerugian negara yakni dengan melihat betul berapa sebenarnya kebutuhan smelter yang ada di Indonesia dan dibandingkan dengan jumlah produksi nikel ore.

“Bisa dihitung kerugian negara karena illicit transactions. Nah, ini mekanismenya bagaimana kalau pemerintah punya niat gmpang sebetulnya melacaknya. Hitung saja produksi smelter berapa kebutuhan normal berapa, dia beli lebih banyak tidak? Beli untuk proses produksi atau jangan-jangan ada sebagian yang dia jual ke luar walaupun sebetulnya tidak boleh, numpang aja. Kita hitung kita jumlahkan dengan yang lain-lain,” kata Faisal.(RI)