JAKARTA – Penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR) di tanah air adalah sebuah keniscayaan, terlebih dengan kondisi sumur-sumur minyak yang sudah mature namun masih diyakini tersisa cadangan yang bisa dikuras. Penerapan EOR makin didorong seiring beralihnya pengelolaan Blok Rokan ke PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Hulu Rokan.

Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengakui penerapan EOR di Rokan sanhat penting. Untuk itu pemerintah sudah memberikan arahan kepada Pertamina dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) untuk membentuk tim khusus dalam penerapan EOR.

“Kami dorong Pertamina membuat task force EOR. Jadi mereka akan memonitor dan membantu perencanaan dalam implementasi EOR,” kata Tutuka disela diskusi yang digelar SBRC – IPB dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) bertajuk Tantangan dan Peluang Implementasi Surfaktan untuk Industri Perminyakan, Sabtu (14/8).

Tutuka menilai salah satu masalah utama EOR surfaktan adalah terletak di harga yang bisa mempengaruhi keekonomian pelaksanaan EOR. Dari sisi bahan baku EOR juga harus dipastikan ketersediaannya. “Kalau saja Indonesia berhasil membuat surfaktan dengan harga yang ekonomis pasti sangat optimis untuk proyek EOR di tanah air,” kata dia.

Penerapan EOR di Blok Rokan berpacu dengan waktu. Pertamina Hulu Rokan sebagai operator baru di Rokan diketahui sudah menyodorkan rencana kerja baru kepada SKK Migas untuk kegiatan EOR yang diharapkan bisa disetujui pada November 2021.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menegaskan pelaksanaan EOR menggunakan zat kimia (chemical EOR) menjadi salah satu upaya yang ditempuh Pertamina untuk menahan laju penurunan produksi sekaligus mencoba untuk meningkatkan produksi minyak Rokan.

“PoD (Plan of Development) EOR ini sudah mencapai 55% dan ditargetkan pada November nanti mendapat approval,” kata Dwi.

EOR boleh dikatakan sudah kadung wajib dilakukan Pertamina. Dalam Keputusan Menteri ESDM 1923K/10/MEM/2018. Beberapa kegiatan itu yakni studi EOR senilai US$ 4 juta, stage-1 CEOR 7 pattern US$ 247 juta, dan stage-1 steam flood Kulin atau Rantau Bais US$ 88,6 juta.

Dwi mengatakan, salah satu potensi tambahan produksi minyak dari EOR yang cukup besar diharapkan datang dari Lapangan Minas, Blok Rokan. Mengacu data SKK Migas, Lapangan Minas akan menjadi tulang punggung produksi minyak nasional dengan produksi mencapai 52 ribu barel per hari (bph) pada 2030.

Satu hal yang memang menjadi tantangan Pertamina adalah terkait kimia yang digunakan untuk EOR. Informasi sebelumnya yang diperoleh Dunia Energi menyebutkan bahwa Pertamina harus membayar jika mau gunakan kimia yang formulanya khusus dimiliki oleh salah satu anak perusahaan Chevron.

Berdasarkan data yang diperoleh Dunia Energi formula komponen kimia tersebut dimiliki oleh anak usaha Chevron yaitu Chevron Oronite yakni berupa Surfactant-CS200B dan Surfactant-CS1500.(RI)