JAKARTA – Sektor kelistrikan dituding jadi biang kerok dan penyumbang terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sumbangaih kelistrikan bagi emisi GRK lebih besar dari pada yang dihasilkan sektor kehutanan. Siti Nurbaya, Menteri LHK, mengatakan sektor energi khususnya kelistrikan, menghasilkan emisi gas rumah kaca mencapai 314 juta ton mencapai 19% dari business as usual.

“Dari 2015 hingga 2018 emisi gas kaca justru paling banyak dari listrik. Sementara dari sektor kehutanan menurun,” kata Siti dalam acara Sustainable Energy: Green and Clean yang ditayangkan Media Group News secara virtual, Kamis (28/1).

Menurut Siti, kunci untui menekan emisi GRK adalah dengan meningkatkan penggunaan pembangkit listrik berbasis EBT. Untuk ia meminta Kementerian ESDM yang dipimpin Arifin Tasrif untuk menaikkan bauran EBT nasional menjadi 50% di 2050. Itu jauh diatas target saat ini dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yakni 31%. Target tersebut menurut Siti terlalu rendah jika mau mengurangi emisi karbon di Indonesia.

“Kalau kita lihat Pak Menteri bauran energi 31% ini kalau boleh ambisikan lagi di 2050 bisa naik 50%. Lalu, pada 2070 bisa net zero emissions,” kata Siti.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan upaya pemerintah untuk meningkatkan bauran EBT hingga kini terlihat belum maksimal.

Untuk mempercepat peningkatan EBT peran swasta menurut Surya sangat penting. Untuk itu perlu regulasi yang jelas untuk mendukung iklim berinvestasi. Surya mengakui investasi EBT hingga 2025 cukup besar. Berdasarkan catatannya, Indonesia masih membutuhkan Rp 1.500 triliun lagi. Sementara dana APBN hanya Rp 2.300 triliun.

“Bagaimana mungkin bisa dipenuhi sendiri? Karena peran swasta harus didorong. Untuk penuhi itu perlu sebuah kepastian, kepastian sisi regulasi dan perizinan usaha, dan berikan daya tarik ke penyandang dana,” kata Surya.(RI)