JAKARTA – Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry, menyatakan bahwa semua skenario proyeksi permintaan batu bara Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pada tahun-tahun mendatang. Jika strategi transisi batu bara nasional tidak mulai dibangun dan dipersiapkan sejak dini, maka keberlanjutan dari industri yang sangat bergantung pada pertumbuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global dan domestik menjadi semakin rawan dan berpotensi menimbulkan kerugian atau biaya yang besar.

“Kebijakan responsif pemerintah untuk menggenjot produksi batu bara domestik, mengembangkan industri hilir, dan membangun PLTU dengan clean coal technology justru mengindikasikan terciptanya berbagai problematika baru, di antaranya terjebak di satu teknologi tertentu (technology lock-in) dan meningkatkan potensi aset terdampar (stranded asset) di masa depan,” ungkap Deon Arinaldo, penulis dari laporan studi IESR, Selasa (14/10).

Studi tersebut mengadopsi tiga skenario yang dikembangkan IEA untuk merepresentasikan dan menganalisis ketidakpastian dari permintaan batu bara Indonesia di Cina, India, Jepang, Korea Selatan, serta di ASEAN dan negara tujuan ekspor lainnya. Dari skenario kebijakan saat ini (current policies), puncak permintaan batu bara Indonesia diproyeksikan terjadi pada 2025, dan akan terus menurun hingga mencapai sekitar 360 juta ton pada 2050.

Penurunan permintaan bahkan diindikasikan dapat mencapai sekitar 270 juta ton pada 2050 dalam skenario kebijakan baru (new policies) yang memperhitungkan perkembangan kebijakan sampai Agustus 2018 dan teknologi kedepannya. Skenario pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merangkum upaya-upaya membatasi peningkatan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, memproyeksikan penurunannya hingga mencapai sekitar 70 juta ton pada 2050.

Deon mengatakan opsi coal upgrading membutuhkan biaya investasi dan operasional sekitar US$557 juta dan US$89 juta untuk dapat meng-upgrade 5 juta ton batu bara setiap tahunnya. Gasifikasi batu bara untuk memproduksi 788 ribu ton pupuk akan membutuhkan biaya investasi sekitar US$ 913 juta. Sedangkan, untuk coal to liquidatau Dimethyl ether (DME), yang membutuhkan investasi dan proses yang lebih banyak dari gasifikasi batu bara, diperkirakan akan menghabiskan biaya investasi sekitar US$ 3,5 miliar-US$6,3 miliar untuk dapat memproduksi 50 ribu barel bahan bakar sintetis per hari.

“Kelayakan dari masing-masing opsi sangat bergantung dari harga batubara, gas, dan minyak,” kata Deon.

Investasi dan pengembangan teknologi hilirisasi batu bara yang tidak sedikit ini akan sangat berisiko jika dilihat dari tidak hanya aspek lingkungan dan perubahan iklim, tetapi juga keekonomiannya yang bergantung pada permintaan industri domestik yang menggunakan bahan baku dari pengolahan batu bara tersebut. Belajar dari pengalaman negara-negara dalam melakukan hilirisasi, proses transisi akan memakan waktu dan biaya yang mahal serta konsistensi kebijakan dan regulasi pendukung pemerintah.

Menurut Deon, setidaknya pemerintah dapat mengadopsi tiga strategi untuk meminimalisasi implikasi tren transisi energi yang sedang terjadi saat ini. Pertama, moratorium pembangunan PLTU baru diperlukan untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit untuk mempertahankan efisiensi ataupun menjadi balancer untuk energi terbarukan yang intermiten. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan.

Deon mengatakan, untuk industri batu bara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.

“Melalui laporan seri ketiga peta jalan transisi energi Indonesia ini, IESR mendesak pemerintah untuk dapat meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batu bara, seperti hilirisasi, pembangunan PLTU dan clean coal technology, dengan mempertimbangkan keekonomian jangka panjang dan potensi risiko stranded assets,” tandas Deon.(RA)