JAKARTA – Pada awal Oktober 2021, harga batu bara sempat meroket hingga mencapai US$269,5 per metric ton. Ada kenaikkan sekitar 235% dibanding harga batu bara pada Oktober 2020 sebesar US$80,5 per metric ton.

“Di satu sisi, meroketnya harga batu bara itu menaikan ekspor, yang sangat menguntungkan bagi pengusaha batu bara. Namun, di sisi lain merugikan bagi industri dalam negeri, yang menggunakan batu bara sebagai energi utama,” kata Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada, Selasa (26/10).

PT PLN (Persero) menjadi pengguna batu bara dalam jumlah besar untuk energi primer pembangkit listrik. Sekitar 57% pembangkit menggunakan batu bara dalam bauran energi untuk memproduksi setrum.

Fahmy mengatakan, PLN tidak begitu merasakan dampak meroketnya harga batu bara lantaran adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dalam skema DMO, harga batu bara yang dijual kepada PLN ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan batubara yang dijual di luar PLN dan diekspor, harganya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar.

Sejak 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memutuskan untuk memberlakukan kebijakan DMO batu bara. Melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 1395 K/30/MEM/2018 menetapkan target pasokan batu bara ke PLN sebesar 25% dari total produksi batu bara dan menetapkan harga jual batu bara ke PLN sebesar US $70 per metric ton. Kebijakan DMO dievaluasi setiap tahun untuk memutuskan kebijakan itu dilanjutkan atau dihentikan.

“Mengingat fluktuasi harga batu bara yang cenderung meroket, ada urgensi bagi Menteri ESDM untuk tetap melanjutkan kebijakan DMO demi melindungi masyarakat sebagai konsumen listrik PLN,” ujar Fahmy.

Tanpa kebijakan DMO, menurut Fahmy, setiap harga batu bara meroket sudah pasti akan menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Dengan kenaikan BPP, pemerintah mempunyai pilihan menaikkan atau tidak menaikkan tarif listrik dengan konsekuensi berbeda. Kalau tarif listrik dinaikkan akan semakin memperberat beban rakyat sebagai konsumen.

Namun, jika pemerintah tidak menaikkan tariff listrik, beban menjual listrik di bawah harga keekonomian wajib ditanggung oleh Pemerintah. “Hal itu tentu akan memperberat APBN dalam bentuk dana kompensasi kepada PLN. Oleh karena itu, pemerintah harus melanjutkan kebijakan DMO pada tahun depan,” kata Fahmy.(RA)