JAKARTA – Masa depan sektor pertambangan batu bara kembali diuji. Kali ini berupa regulasi yang mengatur mekanisme perpanjangan kontrak pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu bara (PKP2B). Salah satu draf aturan baru yang sedang dibahas adalah terkait penciutan luas wilayah tambang batu bara yang dibatasi maksimal seluas 15 ribu hektar.

Ezra Sibarani, General Manager Legal and External Affairs PT Arutmin Indonesia, mengatakan hingga kini landasan yang menjadi acuan rencana penetapan luasan wilayah tambang tidak jelas.

“Angka 15 ribu hektar dari mana, nggak ada yang tahu. Kenapa batu bara 15 ribu hektar dan mienral 25 ribu hektar?  Padahal dari sisi akademis kebalik. Mineral pit-nya ke dalam, kalau batu bara ke samping,” kata Ezra disela diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (21/1).

Poin penciutan lahan menjadi poin utama yang disiapkan pemerintah dalam aturan yang dipersiapkan sebagai payung hukum perpanjangan kontrak PKP2B yang kontraknya akan segera habus dan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Arutmin menjadi salah satu PKP2B yang akan habis masa kontraknya, yakni pada tahun ini. Saat ini luas wilayah tambang Arutmin seluas 57 ribu hektar.

Ezra mengatakan Arutmin telah melakukan penyesuaian isi kontrak atau amendemen pada 2017. Dalam amendemen tersebut, pemerintah menyetujui tidak ada penciutan lahan atau luas wilayah pengusahaan tetap 57 hektar.

“RKSW di pasal 171 (UU Minerba) itu sudah disetujui pada 2017 di amandemen, mencakup seluruh wilayah sampai mine life,” kata Ezra.

Jika pemerintah tetap akan menciutkan luas lahan pertambangan maka harus ada kompensasi bagi para pelaku usaha.

Menurut Ezra, salah satu kompensasi tercepat yang bisa diberikan adalah insentif fiskal, “Insentif paling cepat pajak dan PNBP, kalau hitung-hitungan dagangnya nggak masuk,” kata Ezra.

Abrar Saleng, Pakar Hukum Ilmu Pertambangan menilai tidak ada yang menjamin dari mana asal angka batasan luasan lahan tambang. Tidak sedikit aturan di Kementerian ESDM dibuat tidak melalui kajian akademis yang matang.

“Mohon maaf saja, banyak aturan di ESDM cuma pemikiran bapak ini bapak itu, tiba-tiba jadi regulasi. ketika ditanya kenapa 15 ribu ha dan lain-lain tidak bisa jelaskan, padahal enggak begini bikin aturan. Pertama harus kita lihat implikasinya,” kata Abrar.

Penciutan menjadi 15 ribu hektar tidak berlaku bagi IUPK yang statusnya perpanjangan dari PKP2B. Hal ini dijelaskan melalui pasal 171 UU Minerba. Catatannya, sambung Abrar, bahwa PKP2B telah menyampaikan Rencana Kegiatan pada Seluruh Wilayah (RKSW) kepada Pemerintah dan telah disetujui.

Soal RKSW, luasan wilayah bagi masing-masing PKP2B telah ditampung dalam kontrak amandemen yang disetujui beberapa tahun lalu.

Abrar menilai perlu dilakukan kajian khusus untuk bisa membuktikan bahwa 15 ribu hektar sudah cukup bagi perusahaan melakukan kegiatan pertambangan batu bara.

“Perlu ada kekompakan membuat kajian, apalagi 15 ribu ha tidak semuanya batu bara belum lagi ada hutan lindung dan lain-lain jadi akan semakin sempit,” ujarnya.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), menegaskan aktivitas tambang batu bara milik PKP2B berpotensi tidak ekonomis apabila arealnya dipersempit menjadi 15 ribu ha.

“Batu bara itu sifat endapannya menyebar, jadi wajar kalau butuh area yang luas. Kalau lahannya terbatas bisa jadi nanti malah tidak ekonomis,” kata dia.

PKP2B generasi pertama yang dinilai banyak mendukung perekonomian di level nasional. Contohnya menyangkut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di tahun 2019, tercatat PNBP sektor mineral dan batu bara oleh Kementerian ESDM mencapai Rp 50 triliun, di mana 80 % disumbang oleh batu bara. Sementara itu, PKP2B generasi satu berkontribusi sekitar 40 % dari total produksi nasional.

“Ini matematika sederhana. Kita belum melihat pajaknya di Kementerian Keuangan, ada PPh Badan, PPN, sampai PPh karyawan, itu jumlahnya besar sekali,” kata Hendra.(RI)