JAKARTA – Upaya pemerintah menjadi pemegang saham pengendali (PSP) di PT Vale Indonesia, Tbk. dinilai menjadi momentum penting dalam memacu hilirisasi nikel Indonesia yang sedang mengejar nilai tambah dari potensi mineral nikel. Selama ini, bijih nikel hanya mampu diolah di dalam negeri menjadi bentuk setengah jadi seperti feronikel dan nikel pig iron. Kemudian, produk tersebut langsung diekspor ke negara tujuan.

Pemerintah sebenarnya telah menargetkan agar bijih nikel alias nickel ore dapat diolah di Indonesia hingga menjadi barang jadi. Salah satunya sebagai bahan utama produksi baterai.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, kesempatan pemerintah mengendalikan Vale akan berpengaruh pada integrasi antara sektor tambang nikel dengan smelter di Indonesia, khususnya melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Dengan proses tersebut (apabila pemerintah mampu mengendalikan Vale), maka akan ada integrasi yang memunculkan rantai pasok utuh dari nikel,” kata Bhima, Selasa (11/7).

Saat ini, pemerintah masih menyusun rencana terkait dengan divestasi Vale Indonesia yang kontraknya berakhir pada 2025. Untuk menjaga kelangsungan bisnisnya, emiten tambang itu perlu memegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari negara.

Saat ini, holding tambang MIND ID masih menguasai saham Vale sebesar 20%. Sedangkan pengendali Vale, yakni Vale Canada Limited, masih memegang 43,79%.

Selanjutnya, Sumitomo Metal Mining Co., Ltd. memiliki saham sebesar 15,03%, diikuti oleh investor dengan kepemilikan di bawah 2%. Vale juga telah melepas 20,37% sahamnya ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham INCO.

Sementara itu, pemerintah berupaya untuk menguasai Vale Indonesia dengan hak partisipasi operasional dan finansial, namun demikian kondisi ini akan memberikan dampak besar bagi penerimaan negara.

Menurut Bhima, saat ini proses hilirisasi nikel masih belum tuntas. Mayoritas hasil pengolahan di dalam negeri masih berbentuk setengah jadi, sehingga penerimaan negara belum maksimal sementara kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sudah dimulai sejak 2020.

Larangan ekspor tersebut seketika meningkatkan nilai ekspor komoditas tersebut. Pada 2022, misalnya, ekspor produk turunan nikel mencapai US$33,8 miliar. Dimana US$14,3 miliar di antaranya dihasilkan dari ekspor besi dan baja. “Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk mengintegrasikan hulu dan hilir nikel,” ujar Bhima.

Sementara itu, Pengamat Pertambangan Ferdy Hasiman menyatakan, Vale Indonesia telah memegang peranan penting dalam hilirisasi nikel dengan kontribusi sebesar 24% dan berpotensi mengambil porsi yang lebih besar.

“Kalau (pemerintah melalui MIND ID) mampu menjadi pemegang saham pengendali Vale Indonesia, itu akan lebih baik karena dapat meningkatkan kontribusi negara dalam hilirisasi nikel,” ujar Ferdy.

Di sisi lain, pemerintah telah menargetkan agar sumber daya nikel ore yang akan diolah hingga menjadi baterai lithium dan daur ulangnya dapat diselesaikan pada tahun 2025. (RI)