JAKARTA – PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum menegaskan tidak akan ada divestasi saham PT Freeport Indonesia, apabila isu lingkungan yang dituduhkan ke perusahaan pengelola Tambang Grasberg itu belum selesai.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, mengatakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dampak lingkungan sudah termasuk dalam pembahasan due diligence antara Inalum dengan induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoRan Inc.

Menurut Budi, apabila terbukti ada permasalahan lingkungan maka yang bertanggung jawab adalah Freeport dan bukan Inalum sebagai pembeli saham nantinya.

“Salah satu syarat bayar itu setelah isu lingkungan selesai. Kami kerja sama dengan KLHK agar isu lingkungan bisa diselesaikan dengan baik. Ada kepastian juga harus seperti apa. Kalau tidak selesai, transaksi tidak terjadi,” kata Budi disela rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Rabu (17/10).

Budi mengatakan ada suatu kondisi, yakni Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus terbit jika ingin melanjutkan kontrak. Di dalam itu ada lampiran isu lingkungan.

“Kalau tidak selesai, IUPK Pak Dirjen Minerba tidak akan diterbitkan. Kami juga tidak mungkin membayar kalau IUPK tidak ada,” tukasnya.

BPK menaksir nilai kerugian yang diakibatkan aktivitas pertambangan Freeport mencapai Rp185 trilliun.

Menurut Budi, kalaupun ada kerugian yang harus diselesaikan, maka perhitungan tersebut adalah hasil konsolidasi bersama yang dilakukan dengan KLHK. “Dalam perjanjian sudah dipastikan angka lingkungan sudah diperhitungkan. Dan memang yang berwenang itu KLHK, angkanya,” ujar Budi.

Tony Wenas, Direktur dan Eksekutif Vice President Freeport Indonesia, mengatakan untuk isu lingkungan, selama ini Freeport hanya berpatokan kepada izin yang telah diberikan pemerintah.

“Operasi tambang Freepor tahun 1973 berevolusi pada 1985 dengan terbit Amdal dari 100 ribu ton per hari menjadi 165 ribu ton per hari. Terakhir Amdal pada 1997 ditingkatkan kapasitas menjadi 300 ribu ton per hari dan itu masih berlaku,” ungkap Tony.

Harus Klarifikasi

Komisi VII DPR dalam keputusan kesimpulan hasil rapatnya dengan Freeport dan Ditjen Minerba Kementerian ESDM meminta pemerintah dan Inalum agar dalam divestasi saham Freeport, kewajiban lingkungan akibat perubahan ekosistem sebesar US$13,59 miliar dan penggunaan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional seluas minimal 4.535,93 Ha tanpa lzin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Freeport Indonesia sesuai temuan BPK dapat diselesaikan sebelum transaksi divestasi saham.

Selain itu, Komisi VII juga meminta ada penjelasan bahwa divestasi saham Freeport masih belum terealisasi. Untuk itu, Komisi VII DPR meminta kepada pejabat tinggi terkait agar memberikan pernyataan yang benar kepada masyarakat mengenai proses divestasi saham.

Ramson  Siagian, Anggota Komisi VII DPR, menegaskan harus ada penjelasan dari pemerintah terkait berbagai proses divestasi. Pasalnya, Presiden Joko Widodo sudah terlanjur mengumumkan dalam sidang tahunan MPR  bahwa Freeport telah jatuh ke pangkuan ibu pertiwi. Padahal kondisi sebenarnya belum ada pembayaran sehingga divestasi juga belum terjadi.

“Harus ada yang klarifikasi. Presiden sudah bicara di depan publik bahwa Freeport sudah diakuisisi. Padahal sepeser pun uang belum dibayarkan Inalum ke Freeport,” tandas Ramson.(RI)