JAKARTA – Pemerintah dinilai sering ‘menyakiti’ para pelaku usaha sektor energi utamanya migas dengan berbagai aturan yang diterapkan secara sepihak serta langsung pengaruhi keekonomian sebuah proyek.

Hilmi Panigoro, Praktisi migas yang juga Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), mengungkapkan tindakan pemerintah yang sepihak itu bukan sakali dua kali dilakukan. Hal yang paling nyata terasa adalah dari sisi menghormati kesucian kontrak yang merupakan salah satu komponen utama dalam kepastian hukum.

Ketika salah satu pihak telah tersakiti maka untuk mengembalikan kepercayaan kata Hilmi butuh waktu lama. Ini yang terjadi pada iklim investasi sektor energi di tanah air.

“Yang masalah di indonesia kepastian hukum. berulang-ulang investor baik migas atau pertambangan sering disakiti secara sepihak. Kalau disakiti mau dikembalikan kepercayan perlu waktu,” kata Hilmi dalam sesi diskusi virtual, Sabtu (25/7).

Menurut Helmi, kepastian hukum merupakan satu dari empat poin sebagai syarat utama investasi migas tumbuh positif. Pertama, dari sisi geologi suatu daerah menarik atau tidak juga turut menentukan. Kedua, keekonomian suatu proyek yang tentu berhubungan dengan penerapan kebijakan fiskal suatu negara. Ketiga, stabilitas politik.

Namun ketiga poin tersebut masih bisa dikompromikan. Geologi misalnya, menurut Hilmi, bisa dikejar dengan memperbaiki data geologi. Pun demikian dengan fiskal term dan kebijakan politik. Tapi untuk urusan kepastian hukum ini jadi harga mati yang tidak bisa ditawar dan jadi salah satu penentu investasi akan dilakukan atau tidak.

“Ada daerah dimana secara geologi menarik tapi fiscal term ketat, tapi kepastian hukum so so, stabilitas politik kurang. Tapi pelaku usaha berani ambil resiko Contoh negara afrika banyak perang tapi masih menarik. Sejarah buktikan siapapun berkuasa biasanya akan baik-baik ke produsen migas, contoh Libya masih perang, tapi lapangan ENI mereka pertahankan, itu sumber untuk gaji karyawan Pemerintah,” ujar alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung.

Di Indonesia, lanjut Hilmi, untuk attractiveness geologi sudah cukup ada perkembangan positif ini ditandai dengan adanya berbagai kebijakan pembukaan data geologi. “Saya lihat attractiveness geologi menarik tapi risiko meningkat saya senang data dibuka, Pemerintah buka data eksplorasi sendiri itu bagus. Keekonomian itu masalah benchmarking mau gross split atau cost recovery, yang penting ada fleksibilitas,” ujar Hilmi.

Hilmi menceritakan pelanggaran terhadap kepastian hukum dan kesucian kontrak bahkan juga dilakukan oleh mantan presiden Indonesia beberapa tahun lalu. Ia menolak memberikan nama presiden tersebut tapi setelah terpilih menjadi presiden sosok mantan presiden melakukan kunjungan ke Amerika Serikat bertemu dengan para investor termasuk investor migas.

“Pernah presiden baru menjabat, saya nggak mau sebut siapa, lalu datang ke AS presentasi ke CEO perusahaan Amerika. Clear kesucian kontraknya akan dijaga. Enam bulan kemudian WK dikenakan PBB yang sebelumnya nggak ada. Begitu juga di tambang, tadinya investor tambang bisa tambang dan ekspor bebas tiba-tiba sepihak nggak boleh ekspor kecuali bangun smelter. Dalam bisnis harus ada take and gift,” jelas Hilmi.

Belum lagi dengan perkembangan aturan baru yang dinilai terus menyakiti dan membuat khawatir para pelaku usaha. Misalnya dalam mekanisme pembayaran cost recovery yang dianggap sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Padahal dulu tidak seperti itu. Hal ini membuat risiko dari sisi politik meningkat.

“Kalau cost recovery APBN kalau ada prosedur tidak disetujui dipenjara. Kalau dulu kalau nggak disetujui tinggal nggak dibayar, tapi kalau sekraang risiko beda. Investor harapkan kepastian dan konsistensi pemerintah dalam jalankan aturan.

Hilmi berharap perubahan paradigma menyeluruh bisa diimplementasikan di industri migas. Salah satu perubahan yang patut diapresiasi adalah saat kebijakan harga gas untuk industri tertentu dan pembangkit listrik diterapkan, apalagi pemerintah menjamin bagian dari kontraktor atau badan usaha hulu tidak akan diganggu.

Menurut dia, konsep seperti itu bisa terus dipertahankan dan dimasukkan dalam konsep pembentukan UU Migas baru. Dengan demikian, investor percaya dalam jangka panjang seandainya ada perubahaan keekonomian akan dipertahankan. “Apapun nanti RUU Migas baru bagaimanapun bentuk rezim bisa dibicarakan tapi bagaimana UU baru bisa berikan assurance ke investor kesucian kontrak terjaga. Itu sesuatu penting jadi bagian UU baru,” tegas Hilmi. (RI)