JAKARTA – Keberhasilan atau justru kegagalan pengambilalihan 51% saham PT Freeport Indonesia akan diuji seiring perjalanan waktu. Pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum telah resmi menguasai sebagian saham Freeport dengan membayar 40% hak partisipasi Rio Tinto dan 4,68% saham Freeport-McMoRan Inc senilai  US$3,85 miliar Jumat(21/12), sebagai komitmen Sales Purchace Agreement (SPA).

“Setelah itu, perdebatan dan penilaian, sekaligus muncul data baru, bisa jadi menjadi ujian atas langkah yang dilakukan Inalum,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, kepada Dunia Energi.

Diperlukan waktu sembilan tahun untuk menguasai 51% saham Freeport. Perjalanan yang cukup lama pun tetap diwarnai dengan pelanggaran hukum yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, sesuai Pasal 83 ayat b UU Minerba, maksimal luasan yang diijinkan sebesar 25.000 hektar.

“Ini menjadi rawan untuk digugat kembali di Makamah Agung( MA),” tukas Yusri.

Wajar proses menjadi panjang. Hampir semua pemegang KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) terbukti membangkang atas Pasal 169 b UU Minerba, walaupun UU Minerba telah memberi waktu satu tahun sejak diberlakukan Januari 2009. Pemilik KK dan PKP2B harus menyesuaikan semua ketentuan yang tercantum dalam KK dan PKP2B dengan isi UU Minerba, kecuali mengenai penerimaan negara atau upaya peningkatan penerimaan negara.  Dari pasal ini,  jelas dan tegas, negara sangat melindungi dan menghormati pengusaha KK dan PKP2B tentang jangka waktu berakhirnya kontrak.

Yusri menambahkan, penilaian yang cukup aneh jika dikatakan, KK dan PKP2B sudah mengamandemen sesuai pasal 171 dan 172.  Sebaliknya justru terjadi pelanggaran pasal 169 b , termasuk pasal 170 soal kewajiban melakukan pemurnian di smelter dalam negeri sebagaimana dimaksud pasal 103.  Menjadi sangat jelas, untuk mengerti keseluruhan isi UU Minerba, semestinya dibaca dalam satu tarikan nafas panjang  dari pasal 1 sampai pasal 175.

“Dari catatan nilai akuisisi, wajar muncul perdebatan panjang. Meskipun nilai 40%  PI  Rio Tinto sebesar US$ 3,5 miliar telah dibayarkan oleh Inalum diproyeksikan tetap memunculkan lembaran masalah baru,” ungkap Yusri.

Taksiran perhitungan saham Freeport McMoRan 10%  US$ 1,6 miliar (2041) , Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 10% US$630 juta ( 2021), Inbreng 9,36%  US$550 juta  ( 2021)  dan Menteri Jonan 40% PI senilai US$ 4 miliar dengan batasan valuasi 2041.

Sebaliknya, berdasarkan harga PI 40% milik Rio Tinto dengan batasan valuasi hingga 2041 oleh Morgan Stanley memberikan nilai US$ 3,6 miliar , DB  US$ 3,3 miliar , HSBC US$ 3,85 miliar , UBS US$ 4 miliar dan RBC menilai US$ 3,73 miliar.

Valuasi yang dijadikan dasar Inalum bisa menimbulkan masalah besar dengan adanya dugaan mark up. Mengingat atas dasar perhitungan valuasi PI Rio Tinto barbasiskan kontrak karya 1991, valuasi potensi di blok A dan Blok B. Padahal sangat jelas, surat menyurat yang keluar dari Kementerian ESDM, partisipasi Rio Tinto bukan ditujukan untuk Blok A atau existing block. Bisa jadi pemerintah saat itu justru berpikir dengan visi ke depan. Rio Tinto secara tidak langsung diminta untuk melakukan eksplorasi di Blok B.

Surat Menteri Pertambangan dan Energi IB Sujana nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal  29 April 1996 dan surat Menteri Keuangan nmr S – 176 / MK.04/1996 tanggal 1 April 1996 oleh Marie Muhammad yang ditujukan kepada CEO Freeport McMoRan, jelas tertulis dan sekaligus dipertegas pada point 3 , yaitu bahwa imbalan atas investasi sebesar US$850 juta tersebut antara lain adalah PT FIC akan mengalihkan 40% dari hak perusahaan RTZ yang akan didirikan di Indonesia , ( tidak termasuk hak dan kewajiban yang sudah ada pada tahap ekploitasi pada wilayah kontrak karya blok A).

Dengan dasar surat Kementerian ESDM dan Menteri Keuangan tersebut jelas dapat diterjemahkan bahwa pada dasarnya nilai awal RTZ sebesar US$850 juta belum sama sekali meningkat di tahun ini, mengingat RTZ belum mendapatkan keuntungan dari produksi PTFI di Wilayah Operasi Blok A.

“Dari sini dapat dicatat, terjadi pembodohan publik oleh lembaga keuangan yang dipakai Inalum yang menilai valuasi RTZ ada di kedua blok (A dan B),” ujar Yusri.

Menurut dia, ini semestinya menjadi pintu masuk KPK agar tidak menimbulkan prasangka di ruang publik yang notabene memiliki sumber daya alam yang terkandung dalam Freeport Indoneaia. Mengingat kerugian yang terjadi bukanlah uang kecil bagi kondisi keuangan negara saat ini.

Apalagi sehari setelah pelunasan PI Rio Tinto (22/12), dan dikaitkan pernyataan mantan Guru Besar UI Prof Hikmahanto Juwana pada  11/06/2015 di salah satu media.  Hikmahanto mempertegas bahwa IUPK PTFI sebagai  bentuk penyeludupan hukum.

Yusri mengatakan, tercatat jelas, sesungguhnya sejak lama Rio Tinto berkeinginan melepas sahamnya di Freeport Indonesi secepat mungkin dari tambang Grasberg.  Rio Tinto beranggapan  tailing Freeport telah merusak lingkungan dan sejak 2008 RTZ menyadari atas sikap Norwegia yang melarang lembaga dana pensiun negara untuk menginvestasikan dananya di perusahaan Rio Tinto. Alasan jelas, RTZ dianggap terlibat langsung atas  kerusakan lingkungan akibat operasional tambang Gresberg . Bersamaan juga, lembaga pensiun serupa dari Skandanavia dan Eropah juga melarang dan membatasi investasi di Rio Tinto akibat masalah lingkungan yang diabaikan. Sehingga, semakin aneh dan tak masuk akal sehat ketika BPK-RI dan KLHK tidak menetapkan kerugian negara dari hasil audit yang sudah ada.

“Menjadi tidak salah publik mencurigai terjadinya gejala masuk angin oleh pejabat yang semestinya mewakili publik,” kata Yusri.

Kerusakan Lingkungan

Keterangan pejabat BPK-RI  Rizal Djalil dan Menteri LHK Siti Nurbaya serta Menteri ESDM Iganatius Jonan pada rilis media 20/12/2018 dikantor BPK telah menetapkan tidak ada  kerugian negara akibat nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan tailing tambang Freeport. Berdasarkan 14 temuan  hasil audit BPK dengan menggunakan jasa IPB ( Institut Pertanian Bogor) yang telah melakukan perhitungan jasa ekosistem yang hilang berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan dari tahun 1988 sd 1990dan tahun 2015 sd 2016 oleh LAPAN  ( Lembaga Penerbangan Antariksa Negara ) menunjukan nilai jasa ekosistem yang hilang sebesar Rp 185 triliun. Ironisnya, BPK justru menetapkan denda PNBP terhadap kawasan hutan lindung  seluas 4.535 Ha digunduli tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebatas Rp 460 miliar. Padahal tercatat lebih kurang 14 item temuan BPK yang masih tanda tanya apakah sudah dilakukan penyelesaiannya , termasuk belum adanya dokumen AMDAL untuk beberapa blok tambang , seperti  blok Deep Ore Zone dan Deep Mill Level Zone , Big Gosan , Gresberg Cave .

Dari proses selama ini, diduga secara tidak langsung  berbagai kerusakan lingkungan oleh Freeport Indonesia  sejak berproduksi  pada 1973 justru akan diwariskan kepada Inalum, setelah menguasai 51% saham. Bila dikemudian hari BPK menemukan adanya kerugian negara dari audit investigasi terhadap kerusakan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang atas perintah UU.

IUPK Operasi Produksi Freeport  yang telah dikeluarkan oleh Menteri ESDM diduga menjadi cacat hukum. Selain bertentangan dengan pasal 83 UU Minerba (batasan luasan), diduga belum adanya dokumen AMDAL.

“Dan yang dikorbankan jelas, bagaimana nantinya Inalum akan menanggungnya? Dari hasil keuntungan yang semestinya masuk sebagai keuntungan rakyat Indonesia, justru harus dibayarkan akibat dosa yang dilakukan Freeport,” tandas Yusri.(RA)