JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO) pada sembilan bulan 2018 mencetak penjualan batu bara 39,27 juta metrik ton (MT), relatif stabil dibanding periode yang sama tahun lalu 39,44 juta MT. Penjualan di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia berkontribusi 38% dari total volume penjualan. Sisanya, 31% diserap pasar Asia Timur. Serta India dan China masing-masing berkontribusi 13%.

“Porsi India lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu akibat peningkatan signifikan permintaan impor batu bara dari negara itu,” kata Mahardika Putranto, Head of Corporate Secretary and Investor Relation Division, Jumat (26/10).

Truk tengah mengangkut batu bara di salah satu tambang milik Adaro.

Adaro dalam laporan operasional menyebutkan, pada sembilan bulan 2018 perseroan telah memproduksi 38,98 juta MT batu bara, turun 1% dibanding periode yang sama 2017 sebesar 39,36 juta MT. Produksi batu bara Adaro Energy berasal dari PT Adaro Indonesia, Balangan Coal Companies dan Adaro MetCoal Companies.

Hingga akhir 2018, Adaro tetap mempertahankan panduan produksi batu bara sebesar 54 juta-56 juta MT seiring bertambahnya peralatan penambangan yang baru.
Total pengupasan lapisan tanah penutup (overburden removal) Adaro Energy pada sembilan bulan 2018 mencapai 204,36 juta bank cubic meter (bcm), naik 12% dibanding periode yang sama tahun lalu. Nisbah kupas pada sembilan bulan 2018 sebesar 5,24 kali.

Mahardika mengatakan Adaro Energy mempertahankan rata-rata nisbah kupas yang melebihi target karena harga batu bara yang tinggi memberikan ruang dan fleksibilitas biaya.
“Adaro menjalankan strategi untuk menjaga nisbah kupas usia tambang dalam jangka panjang dan cadangan batu bara. Serta memandang nisbah kupas yang lebih tinggi merupakan investasi mengingat karakteristik batu bara yang siklikal,” kata Mahardika dalam laporannya.

Adaro menyebutkan pasokan batu bara kalori tinggi pada kuartal III 2018 dipasar seaborne relatif ketat karena produsen utamanya, yakni Australia, sedang dilanda masalah cuaca yang telah mempengaruhi aktivitas produksi dan ketersediaan infrastruktur. Di saat yang sama, permintaan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan terhadap batu bara kalori tinggi ternyata melebihi perkiraan.

Secara khusus, permintaan Jerman dan Spanyol meningkat karena harga gas yang melambung tinggi membuat batu bara lebih menguntungkan bagi perusahaan listrik. Faktor-faktor tersebut berdampak pada peningkatan harga batu bara 6.000 NAR di pasar seaborne
pada kuartal III 2018, termasuk harga batu bara global Newscastle (GCN) yang secara rata-rata mencapai US$117,59 per ton atau naik 12% dibanding kuartal II 2018.

Pasokan batubara termal dari Indonesia diperkirakan akan meningkat karena kuartal III 2018 merupakan musim kemarau. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menunjukkan produksi batu bara Indonesia hingga September mencapai 319 juta MT. Angka tersebut belum termasuk produksi batubara dari pemegang IUP.(AT)