JAKARTA – Produksi batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) hingga September 2020 tercatat 41,10 juta ton atau turun 7% dibanding periode yang sama 2019 sebesar 44,13 juta ton. Volume penjualan juga turun 9% menjadi 40,76 juta ton dibanding periode sembilan bulan 2019 sebesar 44,66 juta ton.

Garibaldi Thohir Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) Adaro, mengungkapkan portofolio penjualan Adaro Energy pada sembilan bulan 2020 didominasi  produk E4700 dan E4900, berkat adanya permintaan yang solid untuk batu bara jenis-jenis tersebut. “Pasar Asia Tenggara meliputi 48% penjualan sepanjang sembilan tahun ini, dimana Indonesia dan Malaysia meliputi porsi yang terbesar,” kata Garibaldi dalam laporan perusahaan, Selasa (3/11).

Pasar besar batu bara Adaro berikutnya berasal dari Asia Timur sebanyak 24% lalu India dan China masing-masing 13% dan pasar batu bara lainnya sebanyak 1% seperti Selandia Baru, Pakistas dan beberapa negara Eropa.

Menurut Garibaldi, permintaan batu bara, baik metalurgi maupun termal masih tertekan oleh sulitnya pemulihan ekonomi di wilayah karena tingkat keparahan maupun penanggulangan pandemi COVID-19 tidak kongruen.

“Pengetatan pembatasan kuota impor oleh China dan perlambatan yang terjadi karena musim hujan di India mulai lebih awal mendorong pelemahan permintaan terhadap batu bara termal seaborne secara y-o-y di kuartal III 2020,” kata dia.

China kata pria yang akrab disama Boy itu menerapkan kuota impor di sepanjang kuartal ini walaupun terdapat arbitrase yang signifikan antara harga domestik dan harga impor. Mendekati musim dingin, masih belum tampak jelas apakah China akan melonggarkan pembatasan kuotanya yang dapat memungkinkan peningkatan batu bara impor di pasar. Impor dari Jepang dan Korea Selatan di kuartal ini juga melemah karena terbatasnya pertumbuhan permintaan listrik yang diakibatkan oleh penurunan ekonomi.

“Di sisi lain, permintaan dari Asia Tenggara, terutama Vietnam, menguat di bulan-bulan pertama kuartal III 2020, sementara negara Asia Tenggara lainnya semakin mengaktifkan aktivitas ekonomi. Walaupun terjadi penurunan secara year on year, mulai tampak tanda-tanda rebalancing pada kuartal III tahun ini yang terjadi berkat pengurangan suplai,” kata Garibaldi.

Dia menambahkan untuk pasar batu bara metalurgi lebih terpengaruh permintaan China dibanding dengan pengurangan suplai. Mulai meredanya pandemi di China membuat ekonomi sebenarnya mulai bergerak terutama untuk industri baja kasar.

Pada saat produksi bajanya tinggi, para pembeli dari China masih mencari volume dari Australia untuk menopang produksi walaupun ada pengetatan larangan impor oleh China dan antrian kapal batu bara metalurgi di pelabuhan-pelabuhan. Di sisi lain, permintaan batu bara metalurgi di negara produsen baja lainnya masih lemah. Permintaan hilir di Jepang dan Korea Selatan rendah, dengan penurunan produksi baja kasar Agustus 21% dan 2% year on year untuk masing-masing negara.

“Musim hujan di India pada bulan Juli dan Agustus juga menghambat aktivitas konstruksi dan produksi baja, sehingga mendorong pengurangan impor batu bara metalurgi. Namun, aktivitas pembelian di India mulai meningkat di bulan September untuk konsumsi setelah musim hujan,” kata Garibaldi.(RI)