JAKARTA – Permintaan batu bara global hingga 2023 diproyeksikan akan tetap stabil seiring pertumbuhan di India dan negara-negara Asia lainnya yang akan mengimbangi penurunan di permintaan dari Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Irwandy Arif, Ketua Indonesia Mining Institute, mengatakan China tetap menjadi pemain utama di pasar batu bara.

“Munculnya permintaan di China, pendorong utama rebound batu bara global baru-baru ini. Kemungkinan akan melambat di tahun-tahun mendatang. Meskipun ada upaya-upaya negara luar transisi tapi sampai 2023 masih akan ada yang beli batu bara,” kata Irwandy di Jakarta, Selasa (22/1).

Menurut Irwandy, meskipun saat ini harga batu bara tinggi, investasi di tambang baru tetap rendah. Permintaan tidak pasti untuk batu bara impor serta risiko yang terkait dengan kebijakan pemerintah cenderung mempengaruhi minat investor.

Data Carbon Tracker menyebutkan akan ada sekitar US$130 miliar investasi batu bara yang direncanakan di Vietnam, Indonesia, dan Filipina dalam 10 tahun ke depan. IEA mengatakan bahwa batu bara akan menjadi sumber energi dengan pertumbuhan tercepat di wilayah tersebut hingga  2040, karena sumber daya batu bara yang melimpah, khususnya di Indonesia yang masih mengedepankan biaya energi yang rendah. Kebijakan pemerintah daerah juga mendukung listrik berbiaya lebih rendah.

Berdasarkan pernyataan Carbon Tracker, pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang baru dapat mengurangi proyek batu bara yang ada pada tahun 2027 di Vietnam, 2028 di Indonesia, dan 2029 di Filipina, yang dapat mengubah pemikiran pemerintah.

Irwandy menambahkan, batu bara ke depan akan tetap memainkan peran berkelanjutan, terkait keterjangkauan dan ketersediaan lokal.

“Vietnam, Indonesia dan Filipina sudah menandatangani perjanjian iklim Paris 2015 yang menyerukan tentang pembatasan emisi karbon. Jika tetap berkomitmen, mereka dapat meningkatkan dukungan mereka untuk sumber-sumber pembangkit energi terbarukan,” tandas Irwandy.(RA)