SUBSIDI untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Bahkan subsidi BBM jauh lebih lama, yakni dari medio 1980-an masyarakat sudah bisa menikmatinya dengan harga terjangkau. Berbeda dengan LPG yang baru diberlakukan pada 2006. Kala itu program konversi minyak tanah menjadi LPG menjadi andalan pemerintah.

Konversi BBM ke LPG menyasar pada pengguna minyak tanah. Kala itu minyak tanah menjadi salah satu pos terbesar subsidi LPG.

Penggunan LPG yang juga disubsidi dinilai masih lebih baik karena tidak sebesar BBM. Basis pemerintah melaksanakan program pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG adalah penghematan anggaran subsidi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)

Untuk BBM, kebijakan harga murah sudah diberlakukan sekitar lebih dari 20 tahun lalu. Kebijakan itu dianggap tepat karena harga BBM murah (diberikan subsidi) relatif masih relevan dengan kondisi ketika kebijakan diambil. Serta harus diakui dengan harga BBM murah daya beli masyarakat di dalam negeri bisa terjaga.

Tapi pada perjalanannya dampak positif itu semakin memudar. Tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa pemberian subsidi baik untuk BBM maupun LPG ini adalah bom waktu. Hal itu tidak berlebihan karena hingga kini untuk memenuhi kebutuhan BBM maupun LPG pemerintah masih bergantung pada pasokan dari luar negeri. Lantaran konsumsi terus meningkat tapi kemampuan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan terbatas bahkan cenderung menurun.

Konsumsi LPG Indonesia tercatat sebesar 1,28 juta ton. Pada 2008 konsumsi LPG Indonesia meningkat menjadi 1,84 juta ton. Pada tahun 2018 realisasi konsumsi LPG Indonesia sebesar 7,56 juta ton. Porsi impor LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekitar 70 %

Sejak 2015 memang pemerintah berhasil memangkas besaran subsidi BBM dan LPG. Pada 2014 subsidi BBM dan LPG mncapai Rp240 triliun berhasil ditekan menjadi Rp 60,8 triliun pada 2015. Tapi kembali lagi, subsidi dinilai sebagai bom waktu. Kenapa demikian? karena indikator pembentuk harga BBM dan LPG adalah harga minyak dunia internasional yang bergerak fluktuatif. Saat harga minyak dunia melonjak maka harga BBM dan subsidi juga ikut terkerek.

Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah juga menjadi faktor utama. Apabila dolar AS naik maka pemerintah harus kembali merogoh kocek lebih dalam untuk membaya subsidi.

Namun untuk merubah harga komoditas yang disubsidi tidaklah mudah. LPG memang praktis tidak ada perubahan berarti sejak subsidinya digulirkan, tapi BBM? jangan tanya karena berbagai insiden kerap terjadi jika pemerintah sudah mengungkit-ungkit harga BBM. Tidak jarang juga harga BBM dijadikan sebagai alat politik.

Pemerintah seakan terjebak dalam kebijakan subsidinya. Saat harga minyak melonjak hingga mendekati US$100-an per barel, harga BBM tidak kunjung disesuaikan. Itu tentu memberikan kontraksi luar biasa terhadap anggaran pemerintah untuk subsidi. Bom waktu benar-benar bukan isapan jempol belaka.

Contoh membengkaknya subsidi BBM pada 2013 yang mencapai Rp210 triliun, melonjak 105,1% melampaui pagu APBN-P 2013 yang ditargetkan sebesar Rp199 triliun.

Setelah sempat turun, subsidi setelah 2014 pun kembali membengkak. Jika pada 2016 subsidi BBM dan LPG bisa ditekan hanya Rp43,7 triliun tapi tahun berikutnya kembali naik jadi Rp 47 triliun. Kemudian naik lagi menjadi pada 2018 menjadi Rp97 triliun. Penurunan yang terjadi 2016 disebabkan oleh anjloknya harga minyak dunia tapi mulai 2017 harga miyak kembali naik. Puncaknya pada 2018 saat harga minyak kembali bernagsur stabil diiringi peningkatan konsumsi masyarakat maka subsidi BBM dan LPG kembali dekati 100an triliun yakni Rp 97 triliun.

Pemerintah dan DPR RI pun diminta untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan soal Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), baik yang subsidi maupun non subsidi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute dalam disertasinya mengungkapkan perubahan harga BBM dan LPG baik subsidi maupun nonsubsidi bisa berdampak langsung terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia. Beberapa indikator makro ekonomi bisa terdampak langsung diantaranya inflasi, penerimaan pajak, investasi, pendapatan dan konsumsi rumah tangga, ekspor dan impor.

Berdasarkan penelitiannya, ada dampak kebijakan penentuan harga BBM dan LPG terhadap sejumlah indikator makro ekonomi Indonesia sesuai dengan konsep dan teori ekonomi.

“Harga BBM berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, dan impor. Serta berbanding lurus dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekspor,” kata Komaidi.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG.

Dampak kebijakan peningkatan harga LPG terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM subsidi terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM nonsubsidi.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM Subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM nonsubsidi.

Selain itu,  dampak kebijakan peningkatan harga LPG subsidi terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG nonsubsdi.

Dampak kebijakan peningkatan harga LPG subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG Non Subsidi.

“Pemerintah dan DPR perlu lebih cermat di dalam memilih produk mana yang akan disesuaikan harganya termasuk juga harus cermat memilih kombinasi skenario peningkatan harga BBM dan LPG jika dihadapkan pada pilihan untuk memeningkatkan harga kedua produk tersebut secara bersamaan,” kata Komaidi dalam sidang terbuka baru-baru ini.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peningkatan harga BBM bersubsidi memberikan dampak yang lebih besar terhadap hampir sebagian besar indikator makro ekonomi Indonesia dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM non subsidi.

Jika pemerintah dan DPR harus memilih antara memeningkatkan harga BBM bersubsidi atau BBM non subsidi, pemerintah dan DPR perlu memilih opsi kebijakan yang memiliki dampak yang lebih kecil terhadap sasaran pembangunan ekonomi yang akan dicapai.

Lalu jika pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam kebijakan penentuan harga BBM non subsidi.

“Akan tetapi jika inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor yang menjadi prioritas, pemerintah dan DPR perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga BBM bersubsidi,”jelas Komaidi.

Kemudian jika pemerintah dan DPR harus memilih antara memeningkatkan harga BBM atau LPG, pemerintah dan DPR dapat memprioritaskan untuk memeningkatkan harga LPG.

“Peningkatan harga BBM memiliki dampak yang lebih besar terhadap inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor dibandingkan dampak peningkatan harga LPG,” kata Komaidi.(Rio Indawan)