JAKARTA – Target  produksi minyak satu juta barel per hari (bph) pada 2030 dinilai sudah tidak lagi realistis. Apalagi dengan harga minyak yang sudah terjerembab hingga kurang dari US$20 per barel. Rudi Rubiandini, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan kondisi saat ini adalah momentum bagi pemerintah mengakui target produksi minyak satu juta bph terlalu tinggi dan sangat sulit untuk diraih. Jika kondisi lapangan migas tidak ada perubahan signifikan pada 2025 -2030 produksi minyak paling hanya mencapai setengah dari target yang dicanangkan.

“Paling di level 600 ribu-650 ribu barrel per hari,” kata Rudi dalam diskusi secara virtual, Senin, (27/4).

Selain ada beberapa sumur yang biayanya mahal terpaksa dimatikan, juga kegiatan untuk memelihara sumur-sumur akan berkurang seiring penurunan anggarannya. “Dalam rangka mengurangi cost recovery, maka terpaksa beberapa lapangan bisa turun produksinya hingga 10%.-15%,”ungkap Rudi.

Menurut Rudi, ada dua sumber utama penopang produksi minyak di tanah air saat ini. Pertama, Blok Cepu yang mulai berproduksi sekitar 15 tahun lalu dengan rata-rata produksi sekitar 200 ribuan bph. Dan kedua adalah Blok Rokan yang telah melewati masa keemasannya karena telah berproduksi lebih dari 50 tahun lalu. Jika ingin mencapai target maka harus ada temuan cadangan migas baru dengan jumlah besar.  “Paling tidak perlu sekitar tiga blok seperti Blok Cepu,. Pertanyaannya apa bisa itu diperoleh dengan kondisi sekarang?,” katanya.

Cara utama untuk meraih kesempatan itu adalah dengan melakukan eksplorasi. Masalahnya, hingga sekarang tidak ada tanda-tanda ada perusahaan yang mau menggelontorkan dana besar. “Tidak ada investor yang mau eksplorasi dengan dana besar sampai sekarang,” kata Rudi.

Upaya lainnya seperti Enhance Oil Recovery (EOR) yang digadangkan untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur migas eksisting juga justru tidak bisa bisa lagi diandalkan dengan kondisi sekarang.

“Iya jelas (sulit EOR). EOR itu kalau diibaratkan pizza bagai toppingnya, tambahan biaya dari biasanya. Sehingga production cost (US$ per barrel) nya juga akan naik. Padahal saat ini dengan harga jual minyak rendah, harus menurunkan ongkos produksi,” kata Rudi.

Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan anjloknya harga minyak membuat perusahaan migas langsung melakukan penyesuaian terhadap rencana kerja. Salah satu program kerja yang akan dievaluasi pasti adalah eksplorasi. “Eksplorasi pilar penting akhirnya eksplorasi didelay (tunda) dijadwalkan ulang 1-2 tahun ke depan,” ujar Hadi yang juga Direktur PT Petrogas Jatim Utama Cendana.

Menurut Hadi, EOR memang bisa meningkatkan produksi, hanya saja kalau tidak ada insentif tidak akan jalan, Di tengah kondisi saat ini yang bisa dilakukan perusahaan adalah dengan menjalankan program kerja sumur eksisting dengan baik. Itu pun masih harus diseleksi mana program yang tidak menghabiskan biaya tinggi. “Jadi kami mengais sisa-sisa. Ini juga dipilih-pilih mana yang lifting cost-nya rendah. Kami cari mana yang paling rendah,” kata Hadi.(RI)