JAKARTA – Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia diyakini dapat menghemat konsumsi listrik PT PLN (Persero) hingga 40%.

Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus penggagas Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia, mengatakan apabila gerakan tersebut berhasil bisa mengurangi subsidi listrik PLN.

“Total kapasitas gerakan satu juta surya atap ditargetkan mencapai 1 GW pada 2020″,” ungkap Faby kepada Dunia Energi di Jakarta, Kamis (28/9)

Pada 13 September 2017, telah dilaksanakan Deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia. Deklarasi ini didukung berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat melalui berbagai asosiasi masyarakat dan perusahaan. Diantara penandatangan adalah Direktur Jeneral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktur Jenderal Industri Logam, Manufaktur, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Indonesia, Asosiasi Energi Surya Indonesia, Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap serta beberapa asosiasi lainnya.

Gerakan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk memperkuat ketahanan energi nasional melalui pencapaian target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer sebagaimana yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan adanya peningkatan bauran EBT dari 5% pada 2015 menjadi 23% pada 2025. Dari target Energi Terbarukan 23% bauran energi nasional ini, proyeksi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah sebesar 5000 MWp di 2019 dan 6400 MWp pada 2025.

Hingga saat ini pemanfataan PLTS secara nasional pada 2017 baru mencapai 80 MWp. Kendala terbesar tercapainya target bauran energi nasional ini adalah minimnya investasi produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) akibat masalah kurang menariknya investasi karena beberapa persoalan keekonomian seperti persoalan dukungan finansial termasuk bunga bank yang terlalu tinggi, tantangan dalam akuisisi lahan, maupun kendala teknis seperti keterbatasan ketersediaan jaringan interkoneksi dan lain-lain.

Potensi pemanfaataan energi surya di Indonesia sebenarnya sangat luas, dapat digunakan untuk melistriki daerah-daerah terpencil dan terisolasi yang ketersediaan sumberdaya energi lainnya tidak tersedia atau karena bebannya terlalu tersebar sehingga tidak akan ekonomis bila menggunakan pembangkit listrik lainnya. Pemanfaatannyapun sangat luas, mulai dari penerangan rumah dan jalan, menjadi catu daya sistem telekomunikasi, catu daya rambu-rambu lalu lintas serta pompa air.

Menurut Faby, untuk mendorong peningkatan penetrasi teknologi listrik tenaga surya (solar photovoltaic) di Indonesia sehingga dapat tercapai “The First Gigawatt Solar Power” sebelum 2020, dibutuhkan lompatan yang besar dalam 2 tahun, karena di tahun 2019 diharapkan ada sekitar 5000 MWp pemanfaatan PLTS.

“Diperlukan sebuah gerakan secara nasional untuk mengajak masyarakat terlibat secara aktif berpartisipasi menggunakan PLTS melalui berbagai skema pendanaan yang menarik dan insentif untuk makin membuka pasar tanpa perlu tergantung pada anggaran pemerintah,” kata Faby.

Saat ini di dunia, harga sel dan modul surya juga semakin murah, harga listrik dari surya sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan harga listrik dari pembangkit listrik lainnya. Harga modul surya saat ini telah berada di bawah US $ 1/ Wp dan cenderung akan menurun terus hingga berada di kisaran US $0,5/ Wp. Ini berakibat menjadikan harga sistem berada di sekitar US $ 1500/ kWp dan biaya pokok produksi Pembangkit Listrik Tenaga Surya berada di kisaran US $0,04/ kWh. Penurunan harga modul surya ini sebagai akibat dari unjuk kerja dari modul yang lebih baik dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya efisiensi modul serta akibat dari tercapainya skala keekonomian yang lebih baik karena produksi modul surya yang sangat masif.

Pemanfaataan PLTS di beberapa negara telah mencapai skala gigawatt. Tren pasar dunia penggunaan PLTS meningkat dari 6.5 GWp pada 2008 menjadi 81 GWp pada 2016 yang mengakibatkan harga penjualan yang semakin turun signifikan. PLTS juga dimanfaatkan untuk mendorong pengurangan emisi CO2 di udara karena lebih ramah lingkungan.

Dasar pemikiran diusulkannya gerakan ini adalah karena di Pulau Jawa ada 30 juta pelanggan rumah tangga di mana 1/3 merupakan rumah menengah ke atas, atau 10 juta rumah. Jika 10 juta rumah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya di masing-masing atapnya 4 KW saja, ini sudah mencapai 4,000 MWp. Kalau hanya seperempat saja, inipun masih mencapai 1 Gigawatt. 1 Gigawatt di Pulau Jawa tidak akan berpengaruh besar terhadap sistem kelistrikan, karena penggunaan listrik di siang hari sudah di atas 10.000 MW.

“Jika diberi kebijakan dan rangsangan yang tepat, maka PLTS akan menjadi potensi yang sangat besar,” tandas Faby.(RA)