JAKARTA – Energi baru terbarukan (EBT) diyakini menjadi energi masa depan. Pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi mencapai 13,4% pada 2020. Porsi ini akan meningkat hingga 19,5% pada 2024. Bertahap pada 2021 mencapai 14,5%, 2022 mencapai 15,7% dan 2023 mencapai 17,9%.

Ibrahim Hasyim, Pengamat Energi sekaligus Mantan Komisaris BPH Migas, mengatakan untuk mengejar target bauran EBT 23% pada 2025 maka tidak ada cara lain melalui pembangkit listrik yang menggunakan energi lebih massive.

“EBT adalah energi masa depan. Pemerintah sudah harus memberi insentif supaya menarik investor EBT. Regulasi yang selama ini lebih menekankan peningkatan penerimaan negara dan layanan publik harus bergeser kepada penerimaan investor yang wajar dan proses yang mudah,” kata Ibrahim kepada Dunia Energi, Senin (24/2)

Bob S Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International Pte Ltd, perusahaan energi nuklir asal Amerika Serikat, mengungkapkan berbagai kajian yang dilakukan oleh beragam instansi termasuk BPPT menunjukkan pencapaian target 23% EBT di 2025 akan sangat sulit tanpa energi nuklir. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) diklaim mampu menjawab kebutuhan energi bersih.

“Thorium adalah energi baru huruf B dalam EBT,” kata Bob.

Thorcon merupakan Independent Power Producer (IPP) yang memiliki minat serius dalam melakukan investasi di Indonesia untuk pengembangan dan pembangunan Thorium Molten Salt Reactor Power Plant 500 MW (TMSR500) atau yang lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium dengan nilai investasi sekitar US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp17 triliun.

Sesuai hasil kajian, Badan Layanan Umum Pusat Penelitan dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (BLU-P3TEK KEBTKE) Kementerian ESDM, seluruh regulasi yang dibutuhkan untuk melakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dari sisi bauran energi maupun perijinan keselamatan instalasi nuklir sudah memadai. Dengan demikian, PLTT tipe TMSR500 dapat dianggap sebagai salah satu solusi pembangkit listrik bebas karbon yang layak dipertimbangkan dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia pada periode 2026 – 2027.

PLTT Thorcon ditargetkan beroperasi pada capacity factor 90%, paling efisien dibanding pembangkit lainnya dimana rata-rata pembangkit PT PLN (Persero) lainnya pada level 75%. PLTT Thorcon hanya akan shutdown selama 30 hari setiap 4 tahun dan availability factor di atas 99%.

“PLTT 500MW hanya membutuhkan 170 ton bahan bakar thorium setiap tahunnya. Kalau dengan PLTU, perlu 3 juta ton batu bara per tahun,” ujarnya.

Menurut Bob, apabila PLTT terpasang lebih dari 4 unit di Indonesia maka paska 2030 Thorcon akan bangun pabrik di Indonesia dengan kapasitas sekitar 20 unit atau setara dengan 10 ribu MW per tahun.
Dalam hal tarif, harga jual listrik dari PLTT yang akan dikembangkan Thorcon bersaing akan dengan PLTU batu bara bahkan dibawah BPP nasional. Dengan demikian, berpotensi dapat menurunkan Tarif Dasar Listrik (TDL) menjadi lebih terjangkau baik bagi masyarakat maupun industri.

“Tarif PLTT di bawah BPP nasional, maka daerah luar jawa yang BPP nya masih di atas TDL dapat turun dan tidak perlu lagi disupport dari Jawa. Beban bahan bakar tidak lebih dari 20%, sehingga keuntungan akan meningkat,” tandas Bob.(RA)