JAKARTA – Produksi konsentrat PT Freeport Indonesia pada 2019 diproyeksikan anjlok menjadi 1,2 juta ton dibanding realisasi tahun lalu yang mencapai 2,1 juta ton. Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan penurunan produksi konsentrat Freeport sebagai akibat dari dimulainya operasi penambangan bawah tanah dari sebelumnya open pit.

“Peralihan proses dari open ke close pit. Bukan mine closure pasca tambang. Bukan ditutup,” kata Yunus dalam konferensi pers paparan kinerja subsektor mineral dan batu bara di kantor Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM di Jakarta, Rabu (9/1).

Berdasarkan data Ditjen Minerba, penurunan produksi juga akan berdampak pada ekspor konsentrat. Freeport pada tahun ini diproyeksi hanya akan mengekspor konsentrat sebesar 200 ribu ton, dibanding 2018 yang mencapai 1,2 juta ton. Untuk untuk produksi bijih atau ore diperkirakan mencapai 270 ribu ton per hari.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengatakan penurunan kinerja Freeport Indonesia sudah diprediksi. Bahkan EBITDA perusahaan yang 51,2% sahamnya dikuasai PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum itu diperkirakan hanya tersisa sekitar US$1 miliar dari raihan tahun lalu yang menembus US$4 miliar atau turun 75%.

“Dari prognosa Inalum US$ 4 miliar, turun (mulai 2019) menjadi US$1 miliar lebih. EBITDA turun,” ujar Bambang.

Namun kondisi tersebut tidak akan bertahan lama, karena diyakini setelah tambang bawah tanah bisa maksimal beroperasi maka pada 2020 produksi bisa kembali naik.
“EBITDA dan revenue Freeport turun karena tambang Grasberg berhenti. Bukan masalah cadangan atau kadar, tapi masalah proses saja belum dimulai (ke underground pit). Pada 2020 mulai naik, lalu paling optimal 2025 lalu stabil setelah itu,” tandas Bambang.(RI)