JAKARTA – Pemerintah mengingatkan para pelaku usaha batu bara di tanah air untuk melakukan transformasi bisnis jika mau tetap bertahan dalam waktu yang lama. Salah satu transformasi tersebut adalah dengan melakukan hilirisasi.

Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan 90% cadangan batu bara di Indonesia merupakan batu bara berkalori sedang dan rendah. “Hilirisasi adalah pilihan realistis untuk menjaga keberlangsungan industri batu bara. Ini realita yang kita hadapi saat ini,” kata Ridwan disela diskusi virtual, Jumat (19/3).

Menurut Ridwan, pada 2021 target produksi batu bara mencapai 550 juta ton. Sementara tahun lalu dengan target 550 juta ton, realisasinya mencapai 564 juta ton. Sehingga, tidak menutup kemungkinan target tahun ini juga akan melampaui dari target.

“Tahun ini kami antisipasi dinamika, jika diperlukan dan membawa manfaat bagi negara, angka 550 juta ini bisa berubah. Tahun ini domestik target 137 juta ton yang sebagian besar untuk listrik PLN dan mitra-mitranya, sehingga dinamika ini akan kami antispasi juga,” ungkap Ridwan.

Ridwan mengatakan dengan acuan dunia saat ini, secara umum pada 2050 permintaan batu bara dunia akan turun 40% dari kondisi saat ini. “Inilah yang mendasari kita membuat skenario ke depan,” ujar dia.

Namun demikian untuk menjalankam hilirisasi batu bara memiliki tantangan yang tidak sedikit, terutama tentang keekonomian. Pemerintah pun sudah mencoba menyiapkan beberapa skenario insentif hilirisasi batu bara. Di hulu misalnya diberikan royalti batu bara untuk gasifikasi hingga 0%. Lalu ada juga formula harga khusus batu bara untuk hilirisasi batu bara. Di midstream ada tax holiday, pembebasan PPN, serta pembebasan PPN EPC kandungan lokal.

Tidak hanya itu, insentif juga disiapkan di sisi hilir yakni dengan adanya harga patokan batu bara, pengalihan sebagian subsidi LPG ke DME. “Lalu yang paling penting adalah kepastian offtaker di hilir terhadap produk hilirisasinya,” ungkap Ridwan.

Ada dua proyek hilirisasi yang kini tengah berjalan yakni yang dikerjakan, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan produk Dimethyl Ether (DME), methanol dan Mono Ethylene Glycol (MEG). Proyek yang dikerjakan bersama Pertamina dan Air Product tersebut berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Proyek itu membutuhkan feedstock 6,5 juta ton batu bara per tahun. Rencananya proyek itu menghasilkan 1,4 juta ton DME setiap tahun. Saat ini, proyek yang ditargetkan beroperasi komersial pada 2025 statusnya masih finalisasi kajian dan skema subsidi DME untuk substitusi LPG. Serta negosiasi skema bisnis proyek.

Proyek hilirisasi lainnya digarap PT Kaltim Prima Coal (KPC). Anak perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI) itu akan membangun proyek hilirisasi dengan produk methanol mencapai 1,8 juta ton per tahun. Membutuhkan feedstock batubara sebanyak 5 juta-6,5 juta ton per tahun, proyek yang berlokasi di Bengalon Kalimantan Timur ini ditargetkan COD pada tahun 2024. Sekarang, sedang dalam proses finalisasi Feasibility Studi (FS) dan skema bisnis.

DME dan Methanol ini menurut Ridwan ditargetkan akan mampu kurangi konsumsi LPG. Pada 2019 konsumsi LPG di mana 75% ini diimpor membutuhkan devisa membutuhkan biaya mencapai Rp52,4 triliun.

“Jadi angka sebesar inilah yang kami siapkan untuk mensubstitusi batu bara jadi DME. Jadi upaya ini akan membantu negara untuk hemat devisa. Dalam kondisi negara yang sedang membangun, tentu penghematan ini akan terasa,” kata Ridwan.(RI)