JAKARTA – Program cofiring biomass pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan memnafaatkan biomassa sebagai subtitusi (campuran) batu bara terus digalakkan guna mendorong pencapaian target Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dalam bauran energi nasional.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT PLN (Persero) telah menyusun rencana aksi dengan melibatkan berbagai pihak terkait pelaksanaan program cofiring biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dalam rencana aksi tersebut antara lain penyelesaian yang sebelumnya direncanakan selesai pada Desember 2020, termasuk penentuan skala prioritas klister dari PLTU.

“Cofiring biomassa tidak mudah karena harus merubah boiler PLTU, disamping perlu biaya yang tidak sedikit. Selain itu menyiapkan logistik (sistem suplainya) juga perlu melibatkan banyak pihak,” ungkap Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), kepada Dunia Energi, Rabu (10/2).

Menurut Disan, dalam hal ini pemerintah perlu realistis untuk masalah bauran energi yang didasarkan pada kemampuan daya beli energi masyarakat. Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara.

Cofiring biomass merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan bauran energi, tanpa melakukan investasi, yang cepat dan juga mudah untuk dilakukan. Apalagi dimasa pandemi Covid-19 ini, dimana demand penggunaan energi mengalami penurunan, dan ketersediaan dana untuk investasi juga terbatas. Maka upaya subsitusi energi untuk jangka pendek dan menengah menjadi pilihan yang cerdas.

Cofiring pada PLTU telah teruji sebagai alternatif untuk mengurangi pemakaian batu bara dengan menggantikan sebagian batu bara dengan bahan bakar biomassa, dengan tetap memperhatikan kualitas bahan bakar sesuai kebutuhan. Selain mendukung kontribusi energi terbarukan pada bauran energi nasional, program ini juga berdampak positif pada pengembangan ekonomi kerakyatan yang produktif serta juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), diharapkan nantinya emisi bisa diturunkan, dan dengan implementasi cofiring biomasa, kualitas udara dalam jangka panjang khususnya didaerah pembangkit menjadi lebih bersih dan sehat.

Sejumlah rencana aksi yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM terkait pengembangan cofiring biomassa, antara lain melakukan konsensus untuk RSNI pelet biomassa dan bahan bakar jumputan padat. Rencana aksi yang juga dilakukan, yaitu menyusun draft permen implementasi cofiring dan diperkuat dengan kajian akademis serta mulai melibatkan BUMDes setempat untuk membangun ekosistem listrik kerakyatan bersama K/L (Kementerian/Lembaga) terkait lainnya.

“Dampaknya jelas negatif (bagi produsen batu bara), karena pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit dan mengurangi pemakaian batu bara nasional,” tandas Disan Budi.(RA)