JAKARTA – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas memproyeksi kuota BBM jenis bahan bakar tertentu (JBT) solar bersubsidi pada 2020 akan kembali jebol atau konsumsinya melebihi kuota.

M. Fanshurullah Asa, Kepala BPH Migas, mengatakan prediksi ini didasari oleh kuota yang dialokasikan. Serta konsumsi masyarakat pada tahun ini yang tinggi dan juga telah melebihi kuota. Untuk 2020 kuota JBT yang disiapkan pemerintah adalah 15,3 juta kiloliter (KL) yang diberikan kepada PT Pertamina (Persero) sebesar 15,076 juta KL serta PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) sebesar 234 ribu KL.

Kuota tersebut hanya naik 800 ribu KL dari yang dialokasikan pada tahun ini sebesar 14,5 juta KL. Sementara itu, realisasi penyalurannya berdasarkan verifikasi BPH Migas bisa lebih sekitar 1,3 juta KL hingga 1,5 juta KL.

“Mengacu asumsi pertumbuhan ekonomi yang sama, potensi tahun 2020 over kuota lagi, potensi kelebihan kuota 700 ribu KL,” kata Fanshurullah Asa disela penyerahan kuta penyaluran BBM JBT dan JBPK di Kantor BPH Migas, Jakarta, Senin (30/12).

Tidak hanya solar, penyaluran BBM Jenis Bahan bakar Khusus Penugasan (JBKP) jenis premium juga diprediksi kembali melebihi kuota. Untuk tahun ini saja kuota sudah terlanjur jebol sebesar 500 ribu KL. Dimana kuota ditetapkan hanya 11 juta KL tapi realisasinya mencapai 11,5 juta KL. Tahun depan kuota premium bahkan tidak mengalami perubahan dibanding tahun ini.

Menurut Fanshurullah, jebolnya penyaluran BBM solar subsidi diakibatkan oleh masih maraknya penyimpangan penyaluran BBM subsidi. “Masalahnya masih banyak penyimpangan BBM subsidi tidak tepat sasaran dan tidak tepat volume,”tukasnya.

BPH Migas, kata Fanshurullah telah menyampaikan beberapa usulan untuk mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi ini agar minimal tidak terlampau jauh mengalami kelebihan kuota.

Salah satu caranya adalah dengan meminta penyesuaian penggunaan BBM subsidi. Dia meminta ada perubahan dari jenis kendaraan pengguna yang terlampir dalam Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014.

Fanshurullah mengatakan para oknum yang melakukan penyimpangan dalam penyaluran subsidi kerap kali menggunaan truk roda enam yang tangkinya dikosongkan kemudian dikuras dan dijual kembali kepada kelompok industri pertambangan maupun perkebunan.

“Kami pernah usulkan pada Juli 2019 dan sudah diajukan lagi kemarin, November 2019. Usulan revisi Perpres 191/2014, konsumen pengguna lampirannya, perlu ada penyesuaian, untuk kendaraan roda enam tidak lagi menggunakan BBM subsidi. Selama ini perkebunan dan pertambangan dapat BBM subsidi, kondisi yang ada mobil kosong isi BBM subsidi,” ungkap Fanshurullah.

BPH Migas juga mengusulkan agar kereta api yang khusus digunakan untuk mengantarkan barang tidak lagi menggunakan BBM solar subsidi, lalu ada juga usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan agar nelayan yang berhak membeli solar subsidi yang memiliki mesin dibawah 10 GT. “Kalau bisa direvisi Perpres-nya bisa kurangi potensi overkuota tadi,” kata Fanshurullah.(RI)