JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menargetkan dapat menghasilkan bahan bakar biodiesel 100% (B100) pada tahun depan seiring dengan peningkatan fasilitas (biorefinery) di Kilang Cilacap yang akan mampu mengolah minyak sawit menjadi biodiesel. Untuk tahap awal, biorefinery akan menghasilkan B100 dengan volume sebesar tiga ribu barel per hari (bph).

“Di Cilacap, sebagai prioritas, kami akan bangun dulu yang biorefinery, akan diselesaikan tahun depan dengan kapasitas 3.000 bph,” kata Ignatius Tallulembang, Direktur Utama PT Pertamina Kilang Internasional dalam rapat dengan Komisi VII di Jakarta, Rabu (1/7).

Pertamina kata dia telah menetapkan kontraktor yang mengerjakan desain dasar (basic engineering design/BED) untuk perbaikan unit THDT yang dibutuhkan untuk mengolah Crude Palm Oil (CPO) murni. Kapasitas optimal ditargetkan bisa mencapai 26 ribu bph pada 2023 mendatang, karena itu pengembangan Kilang Cilacap untuk biodiesel dilakukan bertahap.

“Tahun depannya lagi (pada 2022), akan ditambah lagi (kapasitas biorefinery di Cilacap) menjadi 6.000 bph,” kata  Tallulembang.

Dia mengatakan proyek biorefinery di Komplek Kilang Cilacap bukan proyek pembangunan unit baru. Pertamina hanya akan melakukan modifikasi unit eksisting agar dapat menghasilkan biodiesel. Proyek ini akan menjadi bagian dari Proyek RDMP Kilang Cilacap.

Selain di Cilacap, Pertamina juga tengah memproses pembangunan kilang hijau di komplek Kilang Plaju, Sumatera Selatan. Mengacu data Pertamina, pada tahun lalu, perseroan telah merampungkan prastudi kelayakan (pre feasibility study/Pre-FS) proyek ini.

Kemudian April 2020, perseroan juga sudah meneken kontrak pengerjaan BED kilang hijau ini. Berbeda dengan Cilacap, biorefinery di Plaju, pihaknya membangun unit baru yang berdiri sendiri (stand alone).

“Saat ini sedang siapkan engineering, sedang berlangsung dan akan dilakukan percepatan,” jelas Tallulembang.

Untuk kilang hijau di Plaju akan memiliki kapasitas pengolahan CPO murni sebesar 20 ribu bph dan ditargetkan rampung pada 2023.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan sesuai program pemerintah, perbaikan dan pembangunan kilang untuk menghasilkan B100 ini cukup penting lantaran saat ini secara teknis, pencampuran fatty acid methyl ester (FAME) dengan solar hanya dapat dilakukan sampai maksimal kadar 30% saja atau menghasilkan B30. Selain itu, dalam roadmap mandatory pemerintah, pencampuran FAME ditargetkan mencapai 50% atau B50.

“Jadi selebihnya kalau mau B40 atau B50 harus ditambahkan HVO (hydrotreated vegetable oil) atau B100. Jadi kalau B50 maka 20% FAME dan 30% HVO,” kata Nicke.

Dalam data Pertamina, kedua biorefinery ini dijadwalkan bisa masuk tahap lelang Dual Feed Competition (DFC), yakni pemilihan kontraktor yang menggarap desain rinci (front end engineering design/FEED) sekaligus Engineering, Procurement, and Construction (EPC). Proyek biorefinery Cilacap dan Plaju memang masuk jadi bagian yang diusulkan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Hal ini sesuai dengan daftar usulan proyek dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang disetujui untuk masuk dalam Proyek Strategis Nasional.

Sebenarnya, Proyek Kilang Hijau Plaju di Sumatera Selatan telah masuh daftar PSN di Perpres 18/2020 tersebut. Dalam lampiran beleid itu disebutkan proyek kilang ini berkapasitas 20 ribu barel per hari (bph) dengan indikasi pendanaan mencapai Rp 11,9 triliun. Namun, Proyek Kilang Hijau Cilacap belum masuk daftar PSN di Perpres 18/2020 tersebut.(RI)