JAKARTA—Kasus warga terinfeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Cilegon, Provinsi Banten, tercatat terus menurun meski hidup berdampingan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya yang dikelola PT PLN Indonesia Power.
 
Data Dinas Kesehatan Cilegon, ada sebanyak 22.927 temuan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dari 434.896 penduduk Cilegon. Data tersebut dihimpun sejak Januari hingga Oktober 2020. Data tersebut menjelaskan penurunan bila dibandingkan kasus ISPA 2019, yaitu 49.437 kasus.
 
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD) Kota Cilegon Dana Sujaksani saat menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Cilegon mengatakan Cilegon ini kota industri banyak asap. “Namun itu tidak signifikan berakibat pada ISPA,” katanya.
 
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelumnya menyatakan emisi PLTU Suralaya menunjukkan tren baik yang artinya masih di bawah Baku Mutu Ambien (BMA) yang ditetapkan pemerintah.
 
Emisi PLTU Suralaya sudah terkonsentrasi hanya di sekitar kawasan pembangkitan menyusul diterapkannya teknologi berbasis tinggi. Rata-rata PLTU sudah dipasang Electrostatic Precipitator atau yang sering disebut ESP. Hasil efisiensi penyaringan abu dengan ESP dapat mencapai 99,5%.

Taswi, warga lingkungan Semboja, Suralaya, Cilegon, mengatakan penyakit seperti gangguan pernafasan dan batuk itu muncul lantaran perubahan cuaca serta bukan karena efek polutan dari pembangkitan listrik. Dia mengaku pernah batuk, tapi tidak sering. “Itu karena prubahan cuaca. Bukan karena efek dari PLTU Suralaya. Saya sudah hidup disini lebih dari 33 tahun, baik-baik saja,” katanya.
 
Menurut dia, warga RT03/RW04 Kelurahan Suralaya tidak terpengaruh terhadap adanya PLTU yang memproduksi listrik di sekitar lingkungannya. Taswi hidup berdampingan dengan PLTU tersebut pada radius kurang dari 1 kilometer. “Pernah batuk, tapi itu saat perubahan cuaca biasa,” jelas dia. (DR)