JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan aturan yang memberikan kebebasan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk memilih jenis kontrak yang akan digunakan dalam pengelolaan blok migas. Hanya saja aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 12 Tahun 2020 dianggap belum menjawab permasalahan yang selama ini dialami pelaku usaha.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan pemerintah memberikan narasi kebebasan bagi para pelaku usaha untuk memilih kontrak. Tapi dalam aturan yang ada narasi tersebut tidak dituangkan secara jelas. Ini tentu bisa memberikan pemahaman yang berbeda apalagi dari sisi hukum dibutuhkan kepastian.

“Kalau dicermati revisinya kurang tegas atau masih multi tafsir,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Rabu (5/8).

Menurut Komaidi, salah satu poin utama yang kerap diminta pelaku usaha adalah agar bisa leluasa memilih kontrak, termasuk jika mau mengalihkan kontraknya kembali ke cost recovery. Pasalnya, tidak sedikit pengelolaan blok migas eksplorasi yang masih lebih memiliki tingkat keenonomian lebih baik jika menggunakan skema cost recovery. “Tapi klausul itu tidak dituliskan dengan jelas,” tegas Komaidi.

Ego Syahrial, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan aturan baru terkait kontrak migas sejatinya untuk meningkatkan perbaikan terhadap iklim investasi migas di tanah air. Pemerintah tidak mau dianggap kaku oleh pelaku usaha.

Pemerintah menghapus ketentuan Pasal 24 pada Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 yang mengatur mengenai pemberlakuan Kontrak Bagi Hasil Gross Split bagi pengelolaan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang, serta wilayah kerja yang akan berakhir dan diperpanjang.

“”Untuk WK baru yang dilelang, maupun untuk WK yang akan akan berakhir jangka waktu kontraknya terbuka pilihan untuk dapat menggunakan bentuk kontrak bagi hasil dengan mekanisme cost recovery atau gross split ataupun bentuk kontrak kerja sama lainnya. Pemerintah menerapkan hal tersebut dengan mempertimbangkan tingkat risiko, iklim investasi, dan manfaat bagi negara,” ungkap Ego.(RI)