JAKARTA – Pemerintah gencear mendorong pengurangan barang-barang impor salah satunya adalah impor Liquefield Petroleum Gas (LPG). Strategi yang tengah dijalankan adalah dengan mengembangkan hilirisasi batu bara yang diubah menjadi Demythil Ether (DME) untuk menggantikan LPG. PT Pertamina (Persero) menjadi salah satu aktor utama dibalik rencana besar hilirisasi batu bara tersebut.​​

Hasto Wibowo, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial and Trading PT Pertamina (Persero), mengatakan jika mau menggantikan LPG maka sangat dibutuhkan kebijakan pemerintah yang mendukung keberadaan DME di pasaran. Salah satunya adalah jika mau menggunakan DME 100 persen maka perlu ada penggantian kompor, regulator, dan valve di end customer (konsumen akhir/masyarakat pengguna).

Selain itu, agar sukses mengalahkan peredaran LPG maka harga DME  tidak bisa dijual lebih mahal dibanding harga LPG. Harga DME tidak bisa lepas dari harga LPG yang dikonsumsi masyarakat luas. Harga LPG secara historikal sangat berfluktuasi. Maka harga dari DME tidak boleh lebih mahal dari LPG, kalau lebih mahal maka selama skema harga subsidi masih diberikan maka pementah harus memberikan subsidi lebih besar.

“Jadi batas atas tidak boleh lebih mahal dari LPG, batas bawah tidak boleh lebih rendah dari LPG. Dalam menetapkan harga DME sebagai LPG, Pertamina sebagai offtaker akan memperhatikan historical harga LPG,” kata Hasto,​ dalam DETalk yang digelar Dunia Energi, Senin (9/3)​.

Saat ini harga DME di plant gate China sekitar US$500 per MT atau setara US$655 MT LPG, masih lebih tinggi dari rata-rata harga LPG saat ini.

Menurut Hasto, agar rencana penggunaan DME bisa dieksekusi Pertamina membutuhkan dukungan pemerintah untuk kebijakan diversifikasi energi rumah, dukungan penugasan dari pemerintah kepada Pertamina selama nilai keekonomian infrastruktur DME oleh mitra untuk keberlangsungan bisnis hilir Pertamina dan hulu produsen DME, dukungan kebijakan subsidi yang tepat untuk LPG dan DME. Selain itu,  konsep harga beli offtaker DME.

“Terakhir adalah terkait pengaturan kuota impor untuk menghindari kanibalisasi DME lokal oleh kargo LPG impor. Untuk wilayah yang menjadi demand center DME perlu diregulasi agar tidak ada suplai dan infrastruktur LPG yang dapat mengancam pasar DME,” ujar Hasto.

Pertamina mencatat potensi sumber daya batu bara Indonesia yang diolah menjadi DME yang mencapai 14 miliar Metrik Ton (MT) dapat digunakan dalam jangka panjang. Saat ini tengah dikembangkan fasilitas produksi DME di Sumatera Selatan oleh Air Product yang dilahan milik PT Bukit Asam Tbk dengan kapasitas 1,4 juta MT per tahun atau 1,07 juta MT setara LPG. Sementara kebutuhan LPG sekarang ini rata-rata bisa mencapai lebih dari 7 juta ton per tahun.(RI)