JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumberdaya Alam berencana mengajukan tuntutan pembatalan paket regulasi ekspor mineral mentah melalui uji materiil ke Mahkamah Agung (MA), selambat-lambatnya pekan ini.

Paket regulasi tersebut antara lain Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Kedua Permen tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan ke 4 dari PP 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

“Jelas dan tegas melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Hasil Uji Materil terhadap kandungan Pasal 102 dan Pasal 103 pada UU Minerba,” kata Ahmad Redi, pengamat hukum sumberdaya alam sekaligus anggota koalisi, Rabu (25/1).

Menurut Ahmad, aturan baru tersebut disinyalir sebagai upaya memberikan perpanjangan kontrak kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui syarat perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui aturan normal sesuai tahapan UU Minerba.

“Kepentingan Freeport sangat diakomodir oleh pemerintah. Dengan perubahan status KK menjadi IUPK, setidaknya Freeport bisa mendapat perpanjangan kontrak lebih awal dan tetap bisa melakukan ekspor konsentrat tanpa telah membangun smelter, yang artinya kebijakan ini sangat tidak berpihak kepada rakyat dan bangsa sendiri,” ungkap dia.

Pasalnya, menurut Ahmad, perusahaan tambang konsentrat tembaga asal Amerika Serikat ini akan habis masa kontraknya di Indonesia pada tahun 2021 mendatang. dengan perubahan status KK menjadi IUP atau IUPK, Freeport dapat memperpanjang kontraknya setidaknya sampai 20 tahun ke depan. Freeport juga tetap diberikan izin ekspor konsentrat walaupun pembangunan smelternya belum ada tanda tanda akan dibangun pada saat ketentuan ini diterbitkan .

“Ini jelas satu pelanggaran terhadap UU Minerba atas pemberian kelonggaran untuk kepentingan sepihak ini menunjukkan bahwa selama ini pemerintah tidak benar-benar menegakkan aturan yang telah dibuatnya, ini preseden buruk bagi iklim investasi ditanah air,” ujar Redi.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), mengatakan selama ini Freeport menjadi salah satu perusahaan tambang yang tidak mempunyai itikad baik terhadap UU Minerba dan Kontrak Karya itu sendiri.

Faktanya, menurut Yusri, sudah delapan tahun waktu diberikan kemudahan, tetapi hasil pembangunan smelter masih sebatas studi AMDAL saja. Sehingga, seharusnya tidak diberikan kelonggaran apalagi percepatan terkait perpanjangan kontrak.

“Ini buntut panjang dari kebijakan pemurnian yang tidak terlaksana dari mekanisme yang tidak konsisten terhadap UU,” tandas Yusri.(RA)