JAKARTA – Pemerintah diminta mempertimbangkan opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas untuk segera menciptakan kepastian hukum yang lebih kuat bagi penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengusahaan sektor migas nasional.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan opsi penerbitan Perppu UU Migas menjadi mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah saat ini dalam konteks untuk menciptakan kepastian hukum yang lebih baik.

“Penerbitan Perppu tersebut dapat menjadi instrumen yang sangat relevan untuk merespon dinamika dan permasalahan yang berkembang di sektor migas saat ini dan ke depan,” kata Komaidi, Kamis (25/8).

Luhut Binsar Panjaitan, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya menyampaikan revisi UU Migas No 22/2001 merupakan salah satu dari 10 isu strategis yang menjadi prioritas untuk segera diselesaikan pemerintah. Untuk itu, pemerintah akan segera mengagendakan pertemuan dengan DPR untuk meminta inisiatif revisi UU Migas diambilalih pemerintah. Ditargetkan pertemuan itu akan dilakukan pada akhir Agustus 2016 ini.

Menurut Komaidi, penerbitan Perppu menjadi opsi karena mencermati kemajuan proses revisi UU Migas telah berjalan sejak lama, kurang lebih sekitar 7-8 tahun sejak direkomendasikan oleh Panitia Khusus Hak Angket BBM 2008 lalu tidak signifikan.

Berikut pandangan dan catatan Reforminer terhadap urgensi dan relevansi penerbitan Perppu UU Migas:

  1. Penerbitan Perppu UU Migas adalah relevan dan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan dan mencabut sejumlah ketentuan UU Migas No.22/2001. Salah satu di antaranya adalah yang berkaitan dengan pembubaran BP Migas sebagai lembaga yang menjadi wakil negara/pemerintah dalam pengelolaan dan pengusahaan hulu migas. Delapan belas (18) ketentuan yang mengatur kedudukan, fungsi, dan tugas BP Migas telah dibatalkan oleh MK melalui Putusan MK No.36/PUU.X/2012 sehingga di dalam pengelolaan hulu migas UU Migas 22/2001 sebenarnya dapat dikatakan telah cacat hukum.
  2. Terkait catatan poin 1, MK tercatat sebelumnya telah dua kali melakukan pembatalan – merevisi dan/atau mencabut-, pasal yang ada di dalam UU Migas 22/2001, yaitu melalui (1) Putusan MK No.002/PPU-I/2003, dan (2) Putusan MK No.20/PUU.V/2007.
  3. Kedudukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) sebagai lembaga yang mewakili negara/pemerintah dalam pengelolaan dan pengusahaan hulu migas, yang dibentuk hanya berdasarkan Perpres No.9/2013 masih belum sesuai dengan amanat Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK No.36/PUU.X/2012, sehingga akan selalu rawan untuk digugat dan dipermasalahkan secara hukum.
  4. Landasan dan kepastian hukum yang kuat, khususnya di dalam aspek kelembagaan hulu migas adalah faktor kunci yang akan menjadi penentu dan pendorong bagi meningkatnya investasi kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan migas terbukti baru skala besar maupun untuk kegiatan peningkatan perolehan migas tahap lanjut (enhanced oil recovery, EOR)skala besar yang sangat diperlukan Indonesia untuk mengatasi penurunan cadangan dan produksi migas nasional yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun terakhir ini.
  5. Penerbitan Perppu UU Migas dengan menjalankan dan mengakomodasi putusan MK, dapat menjadi instrumen pemerintahan Jokowi-JK untuk menghilangkan sejumlah permasalahan yang kontraproduktif dan menjadi disinsentif bagi kegiatan industri hulu migas seperti terbitnya PP 79/2010, pengenaan pajak dan bea masuk impor pada masa eksplorasi, munculnya kasus kriminalisasi terhadap KKKS, adanya kasus pencurian minyak dan perusakan aset KKKS, konflik penggunaan lahan, sampai dengan dapat menjadi instrumen untuk menyelesaikan konflik pengusahaan sumur-sumur migas tua yang dalam beberapa waktu terakhir banyak bersinggungan dengan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar daerah operasi.
  6. Penerbitan Perppu UU Migas akan menciptakan kepastian hukum yang lebih kuat untuk mendorong pelaksanaan proyek-proyek strategis sektor migas pemerintah sepertikelanjutan proyek pengembangan Blok Migas East Natuna, pengembangan Blok Migas Masela, pengelolaan Blok Migas Mahakam, proyek pengembangan laut dalam (Indonesian Deepwater Development,IDD), pembangunan kilang baru, kilang mini, maupun infrastruktur penyimpanan dan distribusi migas lainnya.
  7. Penerbitan Perppu UU Migas dapat menjadi instrumen untuk mengakomodasi dan memberikan payung hukum terhadap sejumlah ide dan rencana strategis sektor minyak dan gas yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir seperti rencana pembentukan holding BUMN Migas, pembentukan agregator gas dan badan penyangga BBM, pembentukan strategic petroleum reserve(SPR), kebijakan alokasi dan harga gas, dan pembentukan dana ketahanan energi (DKE).
  8. Penerbitan Perppu UU Migas juga relevan untuk mengakomodasi perubahan paradigma bahwa sumber energi (termasuk migas di dalamnya) bukan lagi dititikberatkan untuk menjadi sumber devisa negara tetapi lebih sebagai modal dasar pembangunan untuk mewujudkan kejayaan negara dan kemakmuran rakyat. Perubahan paradigma tersebut, yang di dalam pemerintahan Jokowi-JK saat ini salah satunya dicerminkan dengan adanya pergeseran nomenklatur Kementerian ESDM dari sebelumnya di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menjadi di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dapat diterjemahkan secara lanjut di dalam implementasinya di sektor migas melalui penerbitan Perppu UU Migas.
  9. Dengan kata lain, penerbitan Perppu UU Migas juga dapat menjadi instrumen yang sangat strategis dan progresif dari Kementerian ESDM untuk secara nyata membantu mewujudkan visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK di bidang energi, di sektor migas khususnya, sebagaimana yang telah ditetapkan dan digariskan dalam Nawacita.(RA)