JAKARTA – DPR telah mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang di dalamnya mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Pro dan kontra bermunculan setelah UU Cipta Kerja disahkan DPR pada Senin (5/10).

“UU Cipta Kerja tidak terlalu berdampak kepada PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) mengingat tidak adanya perubahan signifikan tentang hal itu. Namun berdampak besar terhadap pemanfaatan logam tanah jarang (LTJ),” ujar Bob S Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International Pte.Ltd, kepada Dunia Energi, Kamis (8/10).

Bob mengatakan sebelumnya dalam UU ketenaganukliran, eksplorasi dan penelitian bahan radioaktif hanya dapat di lakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan hal tersebut telah menjadi kendala dalam pengembangan logam tanah jarang. Dalam UU Cipta Kerja, kewenangan Batan ditarik ke pemerintah pusat sehingga pemerintah dapat memberikan izin kepada siapa saja untuk mengembangkan LTJ.

“Untuk dapat mengembangkan LTJ maka thorium sebagai pengotornya (produk pengembangan) harus ada yang ambil. Jadi artinya, keberadaan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) yang akan dikembangkan Thorcon justru menjadi solusi bagi pengembangan LTJ,” kata Bob.

Thorcon International merupakan perusahaan pengembang nuklir asal Amerika Serikat yang sudah menyatakan keseriusannya untuk pengembangan dan pembangunan Thorium Molten Salt Reactor Power Plant 500 MW (TMSR500) atau yang lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) dengan nilai investasi sekitar US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 17 triliun.

Bob menambahkan, hal yang juga positif dalam UU Cipta Kerja adalah kemudahan bagi investor karena perizinan yang dipangkas. Sementara dari sisi keselamatan nuklir, menganut asas graded approach yang artinya keselamatan berbasis tingkat resiko.

“Jadi, kalau resiko nya kecil maka bentuknya bukan izin. Hal ini akan lebih memudahkan, seperti rumah sakit yang sebelum harus mendapatkan izin Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) untuk penggunaan X-ray dan alat kedokteran lainnya yang menghasilkan radiasi,” ungkap Bob.

DPR saat ini juga tengah membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT), yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Proses penyusunan RUU sudah dimulai sejak Januari 2017 saat Komisi II DPD RI mengadakan RDPU dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara di antaranya sudah memiliki UU khusus untuk energi terbarukan. Bahkan sudah ada sejak 2000.

Energi nuklir saat ini termasuk dalam draft RUU EBT yang tengah dibahas DPR. “Tetapi, yang disayangkan adalah terhadap pembangunan prototipe PLTN masih tertutup bagi swasta. Artinya monopoli Batan, ini akan menutup investasi dan inovasi swasta dalam sektor ketenaganukliran,” tandas Bob.(RA)