JAKARTA – Potensi kerugian investasi terhadap 11 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia yang bakal tertunda pembangunannya atau operasionalnya akibat pandemi Covid-19 diprediksikan sebesar US$13,1 miliar atau setara Rp209,6 triliun (asumsi kurs saat ini Rp16.000). Prediksi ini muncul bersamaan dengan dirilisnya laporan Boom and Bust 2020: Tracking The Global Coal Plant Pipeline yang kelima. Laporan ini disusun sejumlah lembaga, yaitu Global Energy Monitor, Greenpeace International, the Sierra Club, dan Centre for Research on Energy and Clean Air.

Laporan tersebut menunjukan terjadinya penurunan global kapasitas PLTU dalam status konstruksi (under construction) dan pembangunan pra-konstruksi (pre-construction development) sebesar 16% year-on-year, yang merupakan penurunan total sebesar 66% sejak 2015. Pada saat yang bersamaan, status permulaan konstruksi turun 5% dari 2018 dan 66% dari 2015, dibandingkan dengan 2019.

Meskipun terjadi penurunan dalam fase konstruksi, secara kapasitas netto PLTU batu bara tumbuh sebesar 34,1 gigawatt (GW) pada 2019. Data tersebut merupakan peningkatan pertama dalam penambahan kapasitas netto sejak 2015. Di mana, hampir dua pertiga atau sekitar 43,8 GW dari 68,3 GW kapasitas PLTU baru yang berada di China. Namun, di luar China, kapasitas PLTU batu bara global secara keseluruhan mengalami penyusutan selama dua tahun berturut-turut. Hal ini diakibatkan oleh banyak negara yang telah menghentikan kapasitas PLTU batu bara-nya hingga 27,2 GW dibandingkan yang dioperasikan (commissioned) sebesar 24,5 GW.

“Secara global PLTU batu bara turun dan memecahkan rekor pada 2019 karena energi terbarukan tumbuh dan permintaan listrik melambat,” kata Christine Shearer, penulis utama laporan dan Direktur Program Batu Bara Global Energy Monitor (GEM), baru-baru ini.

Christine menambahkan, terlepas dari itu jumlah PLTU baru yang ditambahkan ke jaringan kian dipercepat. Artinya, PLTU batu bara dunia yang dioperasikan jauh lebih sedikit digunakan, lebih banyak pembangkit menghasilkan energi yang lebih kecil. Bagi bank dan investor yang terus melakukan penjaminan PLTU batu bara baru, situasi ini berarti akan berpotensi juga pada pelemahan profitabilitas dan peningkatan risiko bisnis.

Adila Isfandiari, Periset Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menjelaskan bahwa dalam RUPTL 2019-2028 pemerintah Indonesia telah berencana membangun PLTU batu bara baru sebesar 27 GW PLTU hingga sepuluh tahun mendatang. Kondisi ini dinilai sangat berlawanan dengan tren global sekarang, di mana pertambahan PLTU batu bara -baik yang sedang dibangun maupun dalam perencanaan- telah menurun sebesar dua pertiga dalam empat tahun terakhir.

“Salah satu PLTU batu bara baru yang akan dibangun dalam waktu dekat di Provinsi Banten adalah PLTU Jawa unit 9 dan 10 dengan kapasitas 2×1.000 MW. Proyek ini didanai oleh Korea Selatan yang ironisnya telah melarang pembangunan PLTU baru di dalam negeri mereka sendiri,” ujar Adila.

Menurut Adila, penambahan PLTU batu bara juga sangat bertentangan dengan komitmen menanggulangi krisis iklim. IPCC (Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim) telah mengharuskan pengurangan PLTU batu bara sebanyak 80% pada tahun 2030 untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1.50 C. Penambahan 27 GW PLTU baru di Indonesia akan menghasilkan emisi sekitar 162 juta ton CO2 per tahun (atau setara dengan emisi dari 77 juta mobil per tahun). Sementara itu 28 GW PLTU eksisting di Indonesia telah menghasilkan emisi 168 juta ton CO2 per tahun. Masa operasi PLTU batu bara yang dapat mencapai 30 hingga 40 tahun itu membuat Indonesia akan terkunci oleh emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi selama masa operasi PLTU tersebut.

“Rencana kelistrikan Indonesia bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi GRK,” kata Adila.

Selain itu, penambahan PLTU batu bara baru perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik sebagai dampak dari Covid-19. Fakta bahwa reserve margin Jawa-Bali yang telah mencapai 30% pada tahun 2019, ditambah dengan banyaknya PLTU batu bara baru yang akan beroperasi berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi negara.

Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), menjelaskan tren perlambatan pembangunan PLTU batu bara telah terjadi di Indonesia, seperti tersendatnya pembangunan PLTU Riau-1, Jawa-5, Sumsel-1. Menurut Pius, ini mencerminkan ketidakpastian bagi pembangunan proyek batu bara, di antaranya karena iklim korupsi.

“Di tengah situasi ini, pengawasan publik dan pelaku pasar dibutuhkan agar kelanggengan industri batu bara di Indonesia bukan terjadi karena state capture dan korupsi. Hal itu tentu saja merugikan publik Indonesia yang sudah merasakan dampak pemanasan global, seperti banjir akibat intensitas tinggi curah hujan yang menimpa Jakarta di awal tahun baru,” tandas Pius.(RA)