JAKARTA– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merespons positif rencana PT Pertamina (Persero) untuk melepas sebagian kepemilikan saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding power dan new renewable energy (NRE). Hal ini merupakan salah satu upaya Pertamina meningkatkan kinerja PGE menjadi lebih baik, salah satunya melalui pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal.

“Tentunya, pemerintah mengapresiasi Pertamina agar kinerja PGE menjadi lebih baik, termasuk melalui IPO,” ujar Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM kepada Dunia Energi, Selasa (16/2) malam.

Sumber Dunia Energi dengan Pertamina Refference Level di atas 22 dan mengetahui rencana aksi korporasi cucu usaha Pertamina itu membisikkan bahwa PGE akan ‘melantai’ di Bursa Efek Indonesia paling lambat kuartal IV 2021 atau awal 2022. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga mengonfirmasi  rencana IPO anak usaha Pertamina tahun ini. Selain PGE, ada perusahaan lain yang di Pertamina yang santer disebut bakal IPO, yaitu PT Pertamina International Shipping (PIS) atau PT Pertamina Trans Kontinental, anak usaha PIS.

Mantan direktur utama anak usaha Pertamina menyebutkan rencana pelepasan sebagian saham PGE ataupun anak atau cucu perusahaan Pertamina lain harus dilakukan secara hati-hati (prudent). Kajian internal terkait kondisi finansial perusahaan yang akan IPO, kepemilikan aset, dan juga sumber daya manusia menjadi penting sebelum IPO direalisasikan. Apalagi, perusahaan yang terdaftar di Bursa harus mengikuti aturan atau kaidah yang ditetapkan Otoritas Bursa, salah satunya adalah transparansi.

“Tujuan IPO itu ada dua, real IPO yang dibangun dari sebuah perusahaan yang fundamental bisnisnya kuat atau IPO yang hanya ditujukan untuk capital gain,” ujarnya kepada Dunia Energi.

Agar kinerja PGE makin moncer saat IPO, sumber menyarankan agar Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengintegrasikan BUMN panas bumi dalam holding dengan pimpinan (lead) PGE. Selain PGE, BUMN lain yang fokus di bisnis panas bumi adalah PT Geo Dipa Energy dan PT Indonesia Power, anak usaha PT PLN (Persero).

Geo Dipa saat ini memiliki dua pembangkit listrik panas bumi (PLTP), yaitu PLTP Dieng berkapasitas 60 megawatt (MW) yang tersambung ke jaringan Jawa-Madura-Bali melalui sistem interkoneksi. Selain itu, untuk memenuhi target usaha, Geo Dipa juga meningkatkan serta pengembangan kapasitas proyek Dieng 2 dan 3, masing-masing berkapasitas 55 MW.

Di luar Dieng, Geo Dipa juga memiliki PLTP berkapasitas 60 MW di Gunung Patuha, 40 km selatan Kota Bandung. Saat ini Geo Dipa memformulasikan rencana pengembangan PLTP Patuha Unit 2 dan Unit 3 masing-masing dengan kapasitas 55 MW yang merupakan pengembangan Proyek Patuha Unit 1.

Adapun Indonesia Power saat ini memiliki Unit Pembangkit EBT yang berada di Kabupaten bandung, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang Power Generation O&M Services Unit (POMU). Kamojang POMU mengelola total 7 unit pembangkit yang berkapasitas 375 MW yang terbagi di tiga subunit yaitu, PLTP Kamojang sendiri dengan tiga unit pembangkit dengan kapasitas sebesar 140 MW, PLTP Darajat yang berada di Kabupaten Garut dengan satu unit sebesar 55 MW dan PLTP Gunung Salak yang berada di Kabupaten Bogor sebesar 180 MW dengan tiga unit pembangkit. Selain itu ketiga sub unit tersebut, Indonesia Power Kamojang POMU juga mengelola PLTP Ulumbu yang terletak di Nusa Tenggara Timur sebesar 10 MW.

Bagi Pertamina, panas bumi menjadi salah satu pilar utama transisi bisnis energi perusahaan di masa depan. Manajemen Pertamina mematok target total kapasitas terpasang di own operation mencapai 1.112 Megawatt (MW) pada 2026 dengan komitmen total investasi sebesar US$2,68 miliar. Hingga kini total kapasitas terpasang baru mencapai 672 MW dari 12 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang tersebar di Jawa Barat, Bali, Sulawesi Utara, Bengkulu, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan. Jumlah tersebut masih akan terus ditingkatkan seiring dengan peningkatan permintaan energi panas bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang ramah lingkungan.

Saat ini, PGE PGE mengelola enam wilayah kerja, yaitu PLTP Sibayak (10 MW) ; Kamojang dua PLTP, masing-masing berkapasitas 65 MW dan 35 MW). Di luar itu, PGE Area Kamojang juga menjual uap total 140 MW ke PLN. PGE Area Lahendong memiliki dua PLTP, yaitu masing-masing 20 MW dan menjual uap 80 MW. Di Wilayah Kerja Ulubelu di Gunung Way Panas, Lampung ada dua pembangkit masing masing 55 MW dan penjualan uap 110 MW. Karaha Bodas memilik PLTP berkapasitas 30 MW. Dan di Lumut Balai, Sumatera Selatan sebanyak 55 MW.

PGE juga ada pengelolaan berdasarkan kontrak operasi bersama, yaitu Gunung Salak 377 MW, Darajat 271 MW, Wayang Windu 227 MW, dan Sarulla 330 MW. Plus Bedulug Bali yang dalam pengembangan.

Ditanya soal pembentukan holding BUMN panas bumi sebelum IPO PGE, Dadan mengatakan pembentukan holding panas bumi bisa juga berjalan berbarengan dengan IPO. “Aksi korporasi Pertamina pasti didukung dengan kajian strategis,” ujar Dadan.

Menurut dia, potensi panas bumi Indonesia masih sangate beasr karena itu perlu pengembang yang lebih paham dan pengalaman. “Pemerintah sekarang mendorong dari sisi peningkatan kualitas data sehingga akan mengurangi risiko untuk pengembangannya,” ujarnya.

Kinerja Keuangan
Bila PGE menjadi holding BUMN panas bumi sebelum IPO dilaksanakan berpotensi meningkatkan asset perusahaan dan mengefisienkan kinerja. Berdasarkan laporan keuangan publikasi, pada 2019, PGE memiliki asset sebesar US$ 2,57 miliar, naik dari 2,55 miliar. Adapun penjualan sebesar US$666,88 juta, naik dari US$ 660,83 juta pada 2018. Sementara itu, laba bersih malah turun dari US$ 107,32 juta pada 2018 menjadi US$ 95,56 juta pada 2019.

Kinerja sebaliknya justru diperlihatkan oleh Geo Dipa. Pada 2019, Geo Dipa mencatatkan penjualan Rp794,14 miliar, naik dari 2018 yang Rp783,55 miliar dan 2017 sebesar Rp742,18 miliar. Namun, laba perusahaan mengalami fluktuasi. Pada 2019 mencapai Rp138,48 miliar, turun dari Rp170,38 miliar pada 2018 dan Rp132,48 miliar pada 2017. Di sisi lain, beban pokok penjualan (COGS) Geo Dipa cenderung naik, dari Rp392,6 miliar pada 2017, menjadi Rp420 miliar pada 2018 dan Rp464 miliar pada 2019. Namun asset perusahaan naik tipis dari Rp3,54 triliun pada 2017 menjadi Rp3,67 triliun pada 2018 dan Rp3,75 triliun pada 2019. (DR)