JAKARTA – Rencana pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas dinilai membutuhkan proses panjang. Cara yang efektif untuk bisa mengimpelentasikan fungsi badan khusus tersebut adalah dengan memperkuat posisi PT Pertamina (Persero)  dalam kegiatan industri migas nasional.
Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik,  mengungkapkan selama ini Pertamina seperti dianak tirikan. Padahal Pertamina yang merupakan representasi negara dalam bisnis migas kedudukan sejajar dengan kontraktor  lainnya.
“Saya setuju kelembagaan Pertamina diperkuat kembali. Kita harus masuk lebih dalam lagi untuk pembahasan revisi UU Migas. Perkuat kembali peran pertamina dalam sektor migas,” kata Agus dalam diskusi pembahasan Peran BUK dalam RUU Migas di Jakarta, Rabu (23/8).
Perkuatan Pertamina  dianggap sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 2012 dalam menjalankan kuasa usaha pertambangan harus diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan oleh perwakilan pemerintah.
Kondisi saat ini para kontraktor harus melalui kesepakatan dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Memang tetap berurusan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) namun hanya sekedar melaporkan karena keputusan akhir seperti persetujuan Plant of Development (PoD) misalnya harus melalui persetujuan Menteri.
Khalid Syeirazi,  Pengamat Migas dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU),  mengungkapkan posisi Pertamina bisa seperti saat diberlakukannya UU No 8 Tahun 1971 Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang menempatkan Pertamina sebagai perwakilan pemerintah untuk berhubungan dengan kontraktor, namun tetap mendapatkan porsi pengawasan agar tidak menjadi sarang tempat pemburu rente.
“Kuasa pertamabngan tetap di pemerintah itu tidak bisa dihilangkan, hanya kuasa usaha pertambagannya yang diserahkan ke Pertamina,” kata dia.
Selama ini pembahasan RUU Migas terus tersendat, padahal inisiasi perubahan sudah dimulai sejak 2012 saat MK membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas No 22 Tahun 2001.
Menurut Khalid,  kondisi harga minyak yang anjlok turun membuat pembahasan RUU Migas menjadi loyo, karena berbagai oknum berkepentingan juga merasa tidak ada kuntungan yang dapat diambil saat harga minyak rendah karena itu pembahasannya selalu jalan ditempat.
“Yang berkepentingan juga pasti menahan diri, kan harga minyak sedang anjlok, tidak ada untung buat mereka, untuk itu kita-kita ini yang harus kawal terus prosesnya,” tandas Khalid.(RI)