Infrastruktur distribusi gas PGN.

Infrastruktur distribusi gas PGN.

JAKARTA – Pemerintah dituntut bersikap tegas dan adil dalam mengatasi polemik jalur distribusi gas di dalam negeri. Para trader yang ingin menikmati kebijakan “open access” wajib membangun infrastruktur di daerah yang baru, sehingga pemanfaatan sumber energi itu dapat merata di seluruh wilayah Nusantara.

Analis energi Hidayat Tantan mengungkapkan, dorongan adanya “open access” atau dibukanya secara umum jalur distribusi gas PT PGN (Persero) Tbk sebenarnya punya semangat yang bagus, yakni mengikis monopoli distribusi gas di dalam negeri.

Namun jangan dilupakan, kata Tantan, adanya adanya kondisi pengelolaan gas nasional yang tidak ideal. Dimana setiap orang dengan seenaknya dapat menjadi trader atau penjual gas, tanpa ada kewajiban membangun fasilitas distribusi untuk gas yang dijualnya.

Untuk menjadi trader gas di Indonesia, cukup dibutuhkan kemampuan untuk mencari calon pembeli, ditambah kemampuan mendapatkan alokasi gas dari produsen di hulu. Fasilitas distribusinya menggunakan pipa-pipa yang dibangun PGN. Tanpa kewajiban berinvestasi untuk membangun infrastruktur distribusi gas, mereka bisa mendapatkan keuntungan berlipat-lipat.  

Trader-trader gas itu dapat alokasi gas dari mana? Mereka muncul saat harga gas mulai bagus, tanpa kewajiban membangun fasilitas dan sebagainya. Saat harga gas cuma USD 2 per MMBTU, mereka ke mana?,” ujar Tantan yang juga Editor in Chief Dunia Energi.

Para trader gas, ulasnya, baru muncul saat harga gas mulai bagus, dan menjadi primadona energi, karena lebih murah ketimbang minyak. Karena tidak mau membangun jalur distribusi sendiri, lantas mereka mendesak adanya open access. Mereka maunya ikut ‘bermain’ di jalur existing yang sudah dilayani PGN, tanpa mau membangun jalur distribusi baru.  

Mengurai polemik ini, kata Tantan, mestinya pemerintah membuat kebijakan “jalan tengah”. Yakni memberlakukan open access dengan syarat para trader yang mendapat fasilitas itu bersedia membangun infrastruktur distribusi di wilayah yang baru. Sehingga gas bisa terdistribusikan ke seluruh Nusantara. Bukan di jalur existing Jawa dan Sumatera saja.

“Jadi open acces ini dapat menjadi insentif yang diberikan oleh pemerintah, guna mendorong dibangunnya jalur-jalur distribusi gas di wilayah yang baru. Jangan maunya hanya mencari untung di daerah existing tanpa mau ‘berdarah-darah’ membangun fasilitas,” tukas Tantan saat menjadi pembicara dalam diskusi Revisi Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Jakarta, Kamis, 5 Desember 2013.  

Pada kesempatan yang sama, analis kebijakan publik Sukardi Rinakit mengatakan, revisi UU Migas harus dapat mengakomodir jalan keluar bagi berbagai persoalan yang terjadi di sektor migas saat ini. Salah satunya polemik “open access” jalur distribusi gas.

Menurutnya, kehadiran trader-trader gas sebagai konsekuensi dari diberlakukannya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, harus dibarengi dengan kerelaan untuk membangun prasarana pemerataan distribusi gas. “Idealnya penjual harus punya fasilitas,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewi Aryani. Menurutnya, pemberlakuan open access jalur distribusi gas, harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur-infrastruktur baru distribusi gas.

“Namun untuk ke sana, langkah awal yang harus dilakukan adalah membesarkan PGN dulu, dan memberikan fungsi yang maksimal pada PGN untuk menjadi perusahaan gas negara yang benar-benar fokus pada pengurusan gas nasional,” tandas politisi PDIP ini saat dihubungi pada Kamis sore, 5 Desember 2013.  

Liberalisasi Tata Niaga Gas

Secara terpisah, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (E$DM) Bidang Investasi dan Produksi, Agus Budi Wahyono mengungkapkan, pembangunan infrastruktur distribusi gas di tempat yang baru, bukan hal yang mudah.

Bahkan kalau tidak jelas konsepnya, kata Agus, yang muncul justru malah semrawut. Hal ini mengingat pembangunan infrastruktur gas sangat bergantung tempat di mana sumber gas itu didapatkan. Cara lainnya ialah dengan membangun fasilitas compressed natural gas (CNG) di dekat pelabuhan, sehingga memudahkan gas dipindahkan ke daerah yang membutuhkan.

“Menurut UU, open access adalah dalam rangka mencegah semrawutnya jalur distribusi gas. Misalnya perusahaan A punya fasilitas distribusi dengan kapasitas 100, namun yang dipergunakan hanya 40, nah yang 60 sisanya yang di-open acceas. Kalau membangun sendiri-sendiri malah semrawut jadinya,” jelas Agus Budi Wahyono.

Sebelumnya Kepala Departemen Komunikasi Korporat PGN, Ridha Ababil menuturkan, kehadiran UU Migas 22/2001 dan turunannya, telah memunculkan lebih dari 63 trader gas yang mencerminkan liberalisasi dan ditengarai telah merusak tata niaga gas di dalam negeri. Mereka hanya mengandalkan bisnis niaga, tanpa dukungan fasilitas atau infrastruktur distribusi gas.

Celakanya, para trader gas itu juga berjualan di wilayah pasar eksisting. Hal ini menyebabkan terhambatnya pengembangan infrastruktur ke wilayah baru, dan rusaknya tata niaga gas. Yakni tidak terjadinya perluasan pasar gas ke wilayah baru, di sisi lain terjadi kelebihan pasokan (over supply) pada wilayah eksisting seperti yang telah terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat dan Batam.

PGN sendiri, terangnya, telah berkomitmen mempercepat pembangunan infrastruktur distribusi gas di wilayah yang baru. Sejak 1989, PGN juga sudah melakukan open access beberapa jalur distribusi gasnya. Namun munculnya trader tanpa fasilitas, telah memperpanjang mata rantai penjualan gas, yang merusak tata niaga gas di dalam negeri.

Skema Open Access dan Unbundling yang akan diterapkan, ujarnya, akan menghambat pengembangan infrastruktur gas ke wilayah baru yang masih menggunakan BBM. Karena dengan adanya Open Access dan Unbundling maka para pelaku bisnis gas hanya akan berbisnis di wilayah pasar eksisting. Hal tersebut karena para pelaku bisnis cenderung hanya akan menjadi trader atau broker ketimbang mengembangkan infrastruktur.

Untuk itu, lanjutnya, skema liberalisasi bisnis gas dalam bentuk Open Access dan Unbundling yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2009, kiranya serupa dengan liberalisasi bisnis listrik sesuai dengan UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Bahwa liberalisasi gas dan listrik akan mengancam  pemerataan pembangunan infrastruktur energi,” tegasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Berita terkait:

UU 22/2001 Telah Munculkan Lebih Dari 63 Trader Gas di Indonesia : https://www.dunia-energi.com/uu-222001-telah-munculkan-lebih-dari-63-trader-gas-di-indonesia/