JAKARTA- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menegaskan para pelaku usaha dan seluruh stakeholders harus bersiap dengan perubahan kondisi industri migas saat ini yang berubah drastis akibat tekanan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas,  mengungkapkan apa yang terjadi sepanjang  2020 lalu memiliki efek panjang ke harga minyak yang diperkirakan tdak akan lagi bisa tinggi seperti dulu. Selain itu, minyak yang notabene adalah energi fosil dan tidak dapat diperbaharui juga mendapatkan tekanan lainnya dari sisi persaingan dari Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Dengan adanya isu mengenai EBT dan persaingan yang lebih keras karena muncul minyak minyak, tidak hanya konvensional tapi nonkonvensional dan sumber energi lain maka dari aspek price sulit diharapkan akan kembali tinggi seperti masa-masa yang lalu. Ada keseimbangan baru ke depan,” kata Dwi disela diskusi di CNBC TV Indonesia, Senin (11/1).

Menurut Dwi, di Indonesia kondisi tersebut diperparah dengan terus turunnya produksi migas, bahkan terjadi sudah dari sekitar seperempat abad yang lalu. Di sisi lain potensi yang dimiliki masih ada dan besar. Hanya saja untuk memonetisasinya diperlukan peran serta para investor yang memiliki dana untuk menggali potensi yang masih ada.

“Migas indonesia sudah 25 tahun decline. Dari 28 cekungan yang ada,  baru 20 cekungan yang diproduksi. Masih banyak kesempatan, tapi perlu para investor untuk meningkatkan produksi minyak indonesia,” ungkap Dwi.

Faktor terbaru yang membuat industri migas dunia dan Indonesia tidak akan lagi sama adalah pandemi Covid-19, sehingga membuat permintaan minyak turun drastis. “Penurunan demand karena adanya pandemi,” kata Dwi.

Dwi mengklaim meskipun 2020 lalu sebagai tahun yang berat bagi industri migas nasional, namun Indonesia masih lebih baik dibanding dengan negara lainnya. Secara global semua perusahan minyak dunia menurunkan invetasi sekitar 30% di hulu migas. Di Indonesia secara rata-rata penurunan investasi tidak sampai sebesar itu.

“Kita masih lebih baik dari rata-rata tersebut, turun 20%. Dan kalau bicara poduksi dan lifting, hanya turun 5% dari target dan produksi tahun lalu,” kata Dwi.

Realisasi lifting migas tercatat 2020 mencapai 1.682 juta barel setara minyak (barrel oil equivalent per day/boepd) atau sebesar 99,1% dari target APBN-P 2020, terdiri dari lifting minyak 707 ribu barel per hari (bph) atau 100,1% dari target (705 ribu bph). Sementara realisasi lifting gas sebesar 975 ribu boepd atau 98% dari target (992 ribu boepd).(RI)