JAKARTA – Rencana penerapan skema gross split untuk kontrak minyak dan gas (migas) di Indonesia dinilai tepat karena menjamin keakuratan bagi hasil yang diterima negara. Hal ini disebabkan bagi hasil ditetapkan dari hasil produksi bruto, sementara penetapan bagi hasil versi PSC dengan cost recovery lebih rumit dan tidak akurat.

Fahmi Radhy, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan selain lebih simple, penetapan proporsi bagi hasil dalam gross split juga lebih akurat, bisa mencapai 50:50 secara utuh.

“Pasalnya, penetapan bagi hasil 85:15 diperhitungkan dari net profit setelah dikurangi cost recovery dan pajak yang ditanggung pemerintah. Dampaknya, penetapan bagi hasil jatuhnya tidak tepat 85:15, melainkan susut menjadi 71:29,” ungkap Fahmi kepada Dunia Energi.

Kendati skema gross split lebih menguntungkan bagi negara, namun Fahmi menegaskan penerapan skema baru ini tidak boleh gegabah. Selain, harus dikaji secara mendalam, penerapannya pun harus dilakukan secara bertahap. “Diawali dengan uji coba skema gross split pada lahan migas yang dikelola PT Pertamina (Persero). Uji coba tersebut untuk pertama kalinya bisa diterapkan pada kontrak Blok Offshore North West Java (ONWJ),” ungkap Fahmi.

ONWJ telah ditetapkan pemerintah sepenuhnya akan dikelola dan dioperasikan Pertamina pada saat berakhirnya kontrak pada 18 Januari 2017. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) juga sebelumnya mengungkapkan rencana pemerintah untuk menerapkan gross split pertama di blok ONWJ.

Sembari menungu hasil uji coba, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada investor potensial, baik investor migas nasional, maupun investor asing. Hal ini bertujuan memberikan gambaran secara komprehensif implementasi pelaksanaannya.

“Serta untuk memperoleh respon dari investor terkait penerapan Gross Split,” kata Fahmi.
Selain itu, pemerintah bisa menerapkan gross split secara bertahap dengan cara menawarkan sebagai salah satu opsi skema, yang melengkapi opsi PSC cost recovery. Pemilihan salah satu opsi tersebut bisa dilakukan melalui beberapa persayaratan.

“Misalnya besaran potensi cadangan migas, tingkat kesulitan dalam eksplorasi dan eksploitasi, kecanggihan teknologi yang digunakan, dan lokasi lahan migas, antara di darat dan laut dalam,” ungkap Fahmi.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan salah satu tujuan dari penerapan gross split adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk negara namun tetap tidak merugikan atau menambah resiko bagi kontraktor.

Menurut dia, jika kontraktor menemukan cadangan besar maka porsi bagian negara dan kontraktor juga lebih besar dengan pemberian insentif, negarapun tidak akan dirugikan jika cadangan tidak ditemukan

“Kalau cadangan ditemukan kan dapat gross lebih banyak. Kalau tidak ketemu tetap saja seperti sekarang tidak menemukan ya tidak dibayar juga, pas ketemu nanti grossnya dia dapat insentif, kan grossnya besar,” kata Arcandra.(RI)