JAKARTA – Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang menyatakan bahwa sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) atau Kehutanan dan Penggunaan Lahan lainnya, akan mencapai kondisi Net Sink pada tahun 2030. Selain Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sangat diharapkan berperan aktif sebagai pemangku kebijakan di daerah, dapat mendorong percepatan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di tingkat daerah. Agar kebijakan dan Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dapat diterapkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menggelar serangkaian kegiatan sosialisasi di tingkat regional dan sub nasional di berbagai daerah, salah satunya di Aceh.

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai dimana tingkat serapan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi. Sektor kehutanan memiliki porsi terbesar di dalam target penurunan emisi gas rumah kaca, yakni berkontribusi sekitar 60% dalam pemenuhan target netral karbon atau net-zero emission.

Langkah yang dilakukan diantaranya, memastikan target nasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 sebesar -140 juta ton emisi karbon, dapat terdistribusi dengan benar dengan memperhatikan base line dan target penurunan emisi GRK di setiap aksi yang akan dilaksanakan, yang disinergikan dengan berbagai rencana pembangunan yang diselenggarakan.

“Saya berharap KLHK dapat berdiskusi dan mensinergikan target yang akan dicapai dengan rencana pembangunan daerah yang ada di Provinsi Aceh,” kata Agus Justianto, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK sekaligua Ketua Harian II Tim Kerja FOLU Net Sink 2030, dalam Sosialisasi Sub Nasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang hadir secara daring, Senin (25/7) .

Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk menyampaikan kebijakan, strategi dan rencana implementasi aksi mitigasi yang mengacu pada target penurunan emisi Gas Rumah Kaca yang telah ditetapkan secara nasional, serta untuk mensinergikan dan mengimplementasikan berbagai program kegiatan eksisting terkait perubahan iklim di Provinsi Aceh.

Secara konkrit, Agus Justianto menegaskan kepada pengelola KPH dan para pemangku izin di Provinsi Aceh hendaknya sudah mulai meningkatkan status kesiagaan atas terjadinya pembakaran hutan dan lahan yang berpotensi menghambat tercapainya target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

“Saya juga memberikan perhatian khusus pada pemanfaatan lebih dari 46.000 hektar area hutan produksi yang tidak produktif yang hendaknya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan multi usaha kehutanan baik untuk hutan tanaman, jasa lingkungan, maupun lainnya. Sehingga setiap jengkal kawasan hutan dapat berfungsi sebagai penyerap emisi karbon,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi Aceh mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah pusat yang sangat concern terhadap isu pengendalian perubahan iklim.

Mawardi, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Aceh, mengatakan pada dasarnya pembangunan lingkungan serta berbagai upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan kehutanan telah sejak lama menjadi salah satu prioritas pembangunan di Aceh.

“Pemerintah Aceh mendukung penuh rencana oprasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang di launching pada bulan Maret yang lalu,” kata Mawardi.

Mawardi menambahkan, terkait upaya mengatasi krisis iklim, salah satu bentuk keseriusan Pemerintah Aceh adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Gubernur Aceh yang ditujukan kepada para bupati dan walikota se-Aceh, No. 630/7395 tanggal 15 Mei 2019 tentang pelaksanaaan Program Kampung Iklim di Provinsi Aceh. Aceh membuktikan, pada tahun 2020 Proklim di Aceh berhasil meraih penghargaan Proklim Utama.

Upaya mengatasi krisis iklim merupakan upaya yang harus dijalankan dengan kolaborasi seluruh pihak terkait, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi dan para pemangku kepentingan lainya diharapkan dapat bekerjasama secara korektif melalui aksi percepatan dan implementasi langkah-langkah mitigasi domestik. Serta peran penting untuk melindungi dan melestarikan dan memulihkan ekosistem alam dalam memberikan manfaat untuk adaptasi mitigasi iklim dan juga memastikan perlindungan sosial dan lingkungan.

“Mudah-mudahan melalui kegiatan ini akan terbangun satu kesepahaman dan kesamaan pandangan terkait upaya mitigasi perubahan iklim di Aceh, sehingga langkah implementasinya akan lebih mudah dijalankan di lapangan,” ujar Wamardi.(RA)