JAKARTA – Serikat Pekerja (SP) di sektor ketenagalistrikan yang meliputi SP PT PLN (Persero), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB) menolak program holdingisasi dan rencana Kementerian BUMN yang akan melakukan privatisasi terhadap usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki PLN dan anak usahanya.

Kementerian BUMN berencana membentuk holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Cara melakukan privatisasi adalah dengan cara menggabungkan beberapa BUMN dan anak perusahaan melalui pembentukan Holding,” ungkap Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PLN Persero, Selasa (27/7).

Adapun BUMN dan anak perusahaannya tersebut adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Unit PLN yaitu PLTP Ulebelu Unit 1 & 2; PLTP Lahendong Unit 1-4, Indonesia Power melalui PLTP Kamojang Unit 1-3, PLTP Gunung Salak Unit 1 – 3, dan PLTP Darajat serta PT Geo Dipa Energi.

“Masalahnya, rencana holdingisasi PLTP ini akan menjadikan Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai Holding Company-nya. Padahal kalau merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan putusan judicial review UU Ketenagalistrikan, disebutkan bahwa untuk usaha ketenagalistrikan maka yang menjadi Holding Company-nya adalah PLN,” kata Abrar.

Dia mempersoalkan apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah?

Menurut Abrar, ada pendapat mahkamah bahwa apabila PLN masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN. Namun jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai holding company.

Serikat Pekerja juga mempermasalahkan holdingisasi PLTU milik PLN, Indonesia Power, dan PT Pembangkitan Jawa Bali. Saat ini, rencana holdingisasi PLTU ini memasuki posisi pengumpulan data-data. Tetapi ditengarai hanya asset-aset PLTU yang ada di area di Pulau Jawa. Untuk informasi, biaya BPP pembangkitan daerah Jawa merupakan harga BPP tahun 2018 paling rendah yaitu di kisaran Rp. 984-989,-/kWh.

“Terkait dengan rencana holdingisasi PLTP maupun PLTU, bila bukan PLN yang menjadi Holding Company-nya, maka SP PLN Group tegas akan menolak karena berpotensi timbulnya pelanggaran terhadap makna penguasaan negara sesuai konstitusi,” kata Abrar.

Dia mengklaim bahwa PLN sampai saat ini telah terbukti menyediakan listrik secara affordable dan terjangkau bagi masyarakat. PLN (Persero) dan anak perusahaannya juga telah terbukti mampu mengoperasikan dan mengelola PLTP selama 39 tahun (PLTP Kamojang, Gunung salak dan Darajat) dan hal ini di buktikan dengan kinerja yang handal. “Sehingga menjadi pertanyaan kenapa induk holdingnya di serahkan ke pihak lain yang minim pengalaman dalam pengelolaan PLTP?” ujar Abrar.

Dwi Hantoro, Ketua Umum PP Indonesia Power, juga menyampaikan bahwa Serikat pekerja di PLN Group juga menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat untuk melakukan privatisasi dengan cara IPO kepada usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PLN dan anak usahanya.

“Kebijakan memisahkan, melepas, mengambil Unit PLN dan unit anak perusahaannya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang sangat kasar dan membabi buta,” ungkap Dwi Hantoro.

Agus Wibawa, Ketua Umum SP PJB, menjelaskan bahwa merujuk pada pasal 77 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN, persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Tenaga listrik termasuk ke dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan tentu saja tenaga listrik juga erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan negara sehingga berdasarkan Pasal 77 UU No 19 Tahun 2003, BUMN yang bergerak di bidang ketenagalistrikan termasuk kepada Persero yang tidak dapat diprivatisasi.

Kebijakan pembentukan Sub Holding PLTP ini dinilai melanggar UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Ketentuan tersebut  tertuang di dalam putusan perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003, Permohonan Judicial Review UU NO. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan halaman 334, dan putusan perkara No. 111/PUU-XIII/2015, Permohonan Judicial Review UU NO. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan halaman 103).

Perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah.

“Mahkamah juga menegaskan, bahwa oleh karena listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara maka kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah (unbundled) adalah bertentangan dengan UUD 1945,” kata Abrar.(RA)

Serikat Pekerja yang ada di PLN Group menyatakan sikap, sebagai berikut:

1. Menolak Program Holdingisasi PLTP maupun Holdingisasi PLTU bila PT. PLN (Persero) tidak menjadi Holding Company-nya, karena bertentangan dengan Konstitusi.

2. Menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat untuk melakukan Privatisasi kepada usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PT. PLN (Persero) dan anak usahanya karena bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945 Pasal 33 Ayat (2) dan (3) serta Putusan MK perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003, Permohonan Judicial Review UU NO. 20 Tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan dan putusan perkara No. 111/PUU-XIII/2015, Permohonan Judicial Review UU NO. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

3. Menolak Keras rencana Kemeterian BUMN yang berniat untuk melakukan penjualan Asset PLN melalui IPO.

4. Mendukung Program Transformasi Organisasi Kementerian BUMN khususnya untuk mempercepat terbentuknya Holdingisasi Ketenagaslistrikan dengan menggabungkan seluruh aset-aset ketenagalistrikan yang ada di BUMN-BUMN lain menjadi Holding Company di bawah PT. PLN (Persero).

5. Mendukung agar PT. PLN (Persero) menjadi leader di sektor Ketenagalistrikan Energi Baru Terbarukan di Indonesia sesuai fungsi di bentuknya PT. PLN (Persero) dengan memberdayakan Putra dan Putri Bangsa Indonesia.