JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan program mendatori biodiesel sebesar 30% atau B30 tetap berjalan. Adapun rencana pengurangan porsi biodiesel pada campuran BBM biosolar untuk saat ini tidak akan dilakukan.

Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, menjelaskan hingga kini belum ada arahan terkait rencana evaluasi program mandatori biodiesel. Untuk itu dia memastikan tidak ada perubahan terkait program B30.

“Sepemahanan saya tidak ada perubahan untuk program biodiesel,” kata Dadan, akhir pekan lalu, kepada Dunia Energi.

Sebelumnya, Dadan sempat menyatakan ada rencana untuk mengurangi porsi biodiesel untuk dicampur dengan solar. Dia menuturkan salah satu opsi yang sedang diabahas yakni menurunkan biodiesel menjadi antara menjadi B20 atau B25. Rencana pengurangan tersebut sebagai upaya meningkatkan stok CPO untuk bahan baku minyak goreng.

“Kami  lagi kaji opsi-opsi apakah biodiesel yang diturunkan tapi belum diputuskan,” kata Dadan, saat ditemui Dunia Energi, di Kementerian ESDM, Selasa (15/3).

Beberapa hari setelah pernyataan Dadan tersebut, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian, mengatakan wacana pengurangan biodiesel untuk transportasi tidak akan dilakukan.

Pemerintah  memilih untuk menerapkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Kementerian Keuangan.

Aturan tersebut mengatur tentang kenaikan tarif pungutan ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunan dari maksimal US$355 per ton menjadi US$375 per ton yang juga diikuti dengan kenaikan batas atas harga CPO dari di atas US$1.000 per ton menjadi di atas US$1.500 per ton.

Dalam aturan tersebut, pungutan ekspor sawit ditetapkan secara progresif. Artinya, tarifnya berubah sesuai dengan perkembangan harga CPO dan produk turunan. Semakin tinggi harga CPO dan produk turunannya, maka semakin besar pungutan ekspornya.

Setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton, maka tarif pungutan ekspor akan naik sebesar US$20 per ton.

Adapun untuk produk turunan CPO, akan mengalami kenaikan tarif pungutan ekspor sebesar US$16 per ton setiap kenaikan US$50 per harga CPO dunia.

Perincian pungutan adalah sebagai berikut:

  • Jika harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton, pungutan ekspor yang dikenakan sebesar US$55 per ton.
  • Jika harga CPO di atas US$750 per ton sampai US$800 ton dikenakan tarif US$75 per ton.
  • Jika harga CPO di atas US$850 per ton sampai US$950 per ton, tarif pungutan ekspornya menjadi US$95 per ton.
  • Untuk harga CPO di atas US$1.500 per ton, maka akan kena pungutan ekspor US$375 per ton.
  • Adapun untuk produk refined, bleached, deodorized (RDB) palm oil yang digunakan untuk minyak goreng mengalami kenaikan menjadi US$38 per ton dari sebelumnya US$25.
  • Namun, batas bawah pungutan atas produk RDB Palm Olein dalam kemasan bermerek dan dikemas dengan berat netto di bawah atau sama dengan 25 kilogram tidak mengalami perubahan alias tetap sebesar US$20 saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton.
  • Selain itu, batas bawah biodiesel dari minyak sawit dengan kandungan metil ester lebih dari 96,5% tidak mengalami kenaikan tarif. Adapun tarif biodiesel sebesar US$ 25 saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750. (RI)