JAKARTA – Realisasi produksi batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sepanjang 2019 mencapai 58,03 juta metrik ton (MT), naik  7% dibanding realisasi 2018. Raihan tersebut juga diatas target yang dipatok perusahaan di awal tahun lalu sebesar 54 juta MT – 56 juta MT.

Garibaldi Thohir, Chief Executive Officer Adaro Energy, mengatakan produksi batu bara Adaro berasal dari beberapa anak usahanya,  yakni PT Adaro Indonesia,  Balangan Coal Companies dan Adaro MetCoal Companies (AMC).

Sepanjang tahun lalu pengupasan lapisan penutup mencapai 272,09 million bank cubic meter (Mbcm), atau turun 1% y-o-y, sehingga nisbah kupas gabungan aktual tahun 2019 tercatat 4,69x.

Angka tersebut sedikit melebihi 4,56x yang ditetapkan sebagai panduan 2019. Adaro dapat memenuhi panduan operasional berkat dukungan operasi yang baik, tingginya output para kontraktor, dan kondisi cuaca yang kondusif di sepanjang tahun.

Menurut pria yang akrab di sapa Boy itu, permintaan yang solid untuk batu bara termal maupun metalurgi adalah faktor utama tercapainya penjualan sebesar 59,18 juta ton, atau setara dengan kenaikan 9% y-o-y.

“Wilayah Asia Tenggara tetap merupakan tujuan penjualan utama dengan meliputi 42% dari penjualan Adaro tahun 2019,” kata Garibaldi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/2).

Produksi batu bara Adaro pada kuartal IV 2019 mencapai 13,91 juta MT, atau turun 8% dari periode yang sama 2018. Untuk memenuhi rencana produksi setiap anak perusahaan yang menambang batu bara dan penjualan batu bara pada kuartal IV 2019 mencapai 14,52 juta MT, turun 9% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Pengupasan lapisan penutup pada kuartal IV 2019 tercatat 62,07 Mbcm, dan menghasilkan nisbah kupas 4,46x, masing-masing setara dengan penurunan 10% dan 3% dari periode yang sama di tahun 2018.

Menurut Garibaldi, di tengah tantangan makro dan industri pada 2019, permintaan terhadap batu bara Adaro tetap tinggi.

“Para pelanggan terus mencari Envirocoal karena mereka mengakui dan menghargai kandungan polutannya yang rendah serta keandalan
suplai Adaro,” ungkap Garibaldi.

Penjualan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meliputi 42% dari total
volume penjualan tahun 2019. Volume penjualan ke Asia Tenggara naik 14% y-o-y
dengan Indonesia dan Malaysia sebagai dua pasar terbesar Adaro di wilayah ini.
Di sisi lain, Asia Timur meliputi 29% penjualan, diikuti India dan China masing-masing dengan porsi 15% dan 12%. Hal ini sejalan dengan kenaikan impor India pada tahun 2019.

Garibaldi mengatakan pada 2019, pasar global batu bara termal menghadapi tantangan makro maupun industri yang mendorong penurunan harga batu bara secara year-on-year (y-o-y). Selain itu, juga ada pelemahan ekonomi global, ketidakpastian kebijakan pemerintah, ketegangan perdagangan AS-China dan penurunan harga gas alam cair adalah beberapa faktor yang melemahkan pasar pada tahun ini. PMI manufaktur global akhir 2019 berdiri di level 50,1 (angka yang mencerminkan terbatasnya ekspansi) karena pasar mewaspadai ekonomi global yang lemah.

“Permintaan listrik dan konsumsi batu bara
China dan India pun terkena dampaknya. Pertumbuhan pembangkit listrik China turun 5,4% y-o-y dari 6,2% pada 2018, dengan provinsi-provinsi di pesisir hanya
tumbuh 3%, sementara PLTU India pada 11M19 turun 2,3% y-o-y. Selain itu, harga
batu bara bergerak turun seiring jatuhnya harga rata-rata GlobalCoal Newcastle (gCN)
tahun 2019 menjadi AS$77,74 per ton, atau setara dengan penurunan 28% y-o-y,” kata Garibaldi.

Lebih lanjut ia menuturkan walaupun harga mengalami tekanan, perdagangan global batu bara termal naik sampai melebihi 1 miliar ton. Permintaan terhadap batu bara sub-bituminus Indonesia dari negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina meningkat berkat tingginya permintaan listrik untuk memenuhi penambahan kapasitas PLTU baru.

“Permintaan dari pasar domestik Indonesia juga melonjak 20% dengan sektor
industri sebagai salah satu kontributor terbesar pertumbuhan tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurut dia dengan meningkatnya minat terhadap batu bara Indonesia ini mendukung produksi batu bara Indonesia mencatat rekor tertinggi 610 juta ton pada 2019.

“Perusahaan tetap yakin dengan fundamental jangka panjang pasar batu bara, yang mendapat dukungan dari wilayah Asia Tenggara dan Selatan seiring upaya mereka mengejar pembangunan ekonomi dan meningkatkan sektor ketenagalistrikan,” kata Garibaldi.(RI)