JAKARTA – Pemerintah memastikan tetap akan menjadikan batubara sebagai pembangkit listrik di masa depan sesuai dengan perencanaan pembangunan pembangkit listrik yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang baru saja diluncurkan.

Jisman P Hutajulu, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan keputusan untuk tetap memasukkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dalam RUPTL tetap memiliki syarat utama yakni tidak ada emisi yang dilepas ke permukaan. Menurutnya PLTU masa depan akan langsung menerapkan teknologi Carbon Capture Storage (CCS).

“PLTU batu bara bukan barang haram kemudian batu bara juga banyak dihasilkan Indonesia jadi yang perlu kita perhatikan adalah emisinya tidak terdampak kepada masyarakat dan global,” kata Jisman dalam paparan diseminasi RUPTL di Jakarta, Senin (2/6).

Keputusan pemerintah untuk tetap membangun PLTU memang cukup mengejutkan, pasalnya sejak pemerintahan presiden Joko Widodo sampai ke Prabowo, kampanye untuk mencapai Net Zero Emissions terus dikumandangkan pemerintah.

Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan bahwa Indonesia tetap punya target transisi energi namun tidak juga kaku meninggalkan begitu saja batu bara.

“Batu bara 6,3 GW (Gigawatt). Di Eropa aja masih ada pake batu bara kok, di Turki masih banyak pake batubara, kita aja yang terlalu kekinian,” kata Bahlil.

Penambahan pembangkit batu bara terjadi pada tahun 2025 dengan total kapasitas 3,2 GW. Kemudian di tahun 2029 0,2 GW lalu di tahun 2030 sebesasr 0,6 GW. Meningkat lagi di tahun 2032 sebesar 1,4 GW serta tahun 2033 masuk PLTU baru lagi dengan kapasitas 0,8 GW. (RI)