JAKARTA – Pembangunan fisik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10 dengan total kapasitas 2×1.000 Megawatt (MW) diproyeksi dimulai  pada Januari 2020 seiring dengan finalisasi pendanaan pembangunan pembangkit. Yudianto Permono, Direktur Operasi PT Indoraya Tenaga, perusahaan patungan yang membangun PLTU Suralaya Unit 9 dan 10, mengungkapkan Indonesia Power sebagai induk usaha atau pemilik saham 51% PLTU Suralaya unit 9 dan 10 hanya akan menyediakan lahan. Untuk pendanaan atau biaya pembangunan nanti sepenuhnya akan mengandalkan dana eksternal atau pinjaman.

“Mulai Januari sudah bisa (konstruksi), mulai dikerjakan pematangan lahan menggunakan equity sendiri. Setelah itu kontraktor langsung masuk,” kata Yudianto di kawasan PLTU Suralaya, Banten, Selasa (24/9).

Menurut Yudianto, beberapa lembaga pinjaman Asia Pasific sudah menyatakan secara resmi ketertarikan untuk berinvestasi. Lembaga pinjaman asal Korea Selatan akan jadi investor utama pembangunan Suralaya unit 9 dan 10 yang diperkirakan akan menelan biaya US$3,5 miliar. Paling lambat pada Desember mendatang sudah ada kesepakatan investasi dari para lembaga pinjaman.

“Pendekatan mulai 2018, sudah banyak regional dan lokal. Kebanyakan Asia Pasific. Ada dari Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Investasi total US$3,5 miliar, yang banyak Korea K-Sure dan Exximbank. Mungkin sekitar 50% dari K-Sure dan Exxim sudah mau final, ada final cek dan ajukan komite kredit. Antara November-Desember,” ungkap Yudianto.

Dengan menggunakan kalori batu bara lebih rendah atau sekitar 4.400 GAR, PLTU Suralaya unit terbaru diklaim akan lebih ramah lingkungan lantaran menggunakan teknologi terbaru ultra super critical. Dengan menggunakan pinjaman luar negeri, ada concern khusus terkait lingkungan. Selain itu teknologi tersebut membuat penggunaan batu bara bisa jauh lebih efisien sekitar 40% dari pembangkit listrik lama. PT Indonesia Power yang juga anak usaha PT PLN (Persero) akan memasang alat FGD atau Flue Gas Desulfurization sehingga sulfurnya lebih rendah.

“Biasanya asing. Kami standar Bank Dunia emisinya tidak boleh tinggi, maksimal 1/4 baku mutu Indonesia, kemarin dilakukan simulasi independen. Kami tidak boleh lebih dari 1/4. Desain kami (unit 9 dan 10), 70 mikro gram/m3,” kata Yudianto.

Dia menambahkan, jika tidak ada halangan pengerjaan konstruksi maka unit 9 dan 10 bisa rampung sesuai dengan target Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). “Kami mengikuti RUPTL 2023 unit 9 dan 2024 unit 10. Konstruksi tahun depan dimulai,” kata Yudianto.(RI)