JAKARTA – Laporan terbaru Carbon Tracker,  sebuah lembaga kajian keuangan internasional, berjudul “Political Decision, Economic Realistic” mengungkapkan  perekonomian China dan negara-negara lain akan semakin terbebani akibat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tidak ekonomis dalam beberapa tahun kedepan. Kondisi tersebut akan terjadi jika masih membangun kapasitas baru PLTU yang bertujuan merangsang ekonomi setelah pandemi Covid-19.

Carbon Tracker memperkirakan 46% dari pembangkit batu bara global akan mengalami kerugian pada 2020, Dan akan meningkat menjadi 52% pada 2030.

“Namun, energi terbarukan dan gas sudah mengungguli batu bara di seluruh dunia dan jika pemerintah ingin menderegulasi pasar energi untuk membuka kemungkinkan persaingan yang lebih terbuka antara energi fosil dan energi terbarukan maka akan semakin tidak menguntungkan bagi PLTU,” ungkap Matt Grey, Kepala Kajian Power and Utilities Carbon Tracker dan juga penulis laporan, Senin (13/4).

Matt mengatakan, China dan pemerintah lain mungkin tergoda untuk berinvestasi kembali dalam PLTU untuk membantu ekonomi mereka pulih setelah pandemi Covid-19, tetapi ini sangat berisiko tinggi karena batu bara akan merusak target iklim global.

Menurut dia, membangun PLTU untuk menstimulus ekonomi justru akan membuang-buang uang. Pemerintah seharusnya merencanakan sesuatu yang baik seperti pemulihan ekonomi hijau dengan memberi insentif pada penutupan PLTU dan membiayai energi terbarukan yang bersih dan murah.

Carbon Tracker, sebelumnya dalam laporan terpisah mengungkapkan, bahwa biaya untuk menghasilkan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dari pembangkit batu bara di semua pasar utama. Paling lambat pada 2030 akan lebih murah untuk membangun pembangkit tenaga angin baru atau tenaga surya daripada melanjutkan operasi batu bara di seluruh dunia.

Di sisi lain, laporan terbaru Carbon Tracker menemukan bahwa sejumlah negara masih akan mensubsidi untuk pembangunan PLTU dengan kapasitas hampir 500GW di seluruh dunia dengan biaya US$ 638 miliar, kecuali bila terjadi perubahan kebijakan signifikan sebesar 72% dari kapasitas tersebut, maka akan menjadi arus kas positf ketika pembangkit mulai beroperasi.

Laporan itu mengatakan China harus serius mempertimbangkan kembali rencana untuk menghabiskan US$158 miliar untuk membangun pembangkit batu bara dengan total kapasitas 206 GW.
Karena energi terbarukan dan penyimpanan baterai lebih layak dan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Pademi virus Covid-19 ini tidak akan mengubah profitabilitas yang menjamin PLTU di China, tetapi penurunan ekonomi yang disebabkan oleh wabah malah berisiko menggangu proses perencanaan, terlebih semakin kuatnya regulasi soal lingkungan terkait dengan investasi masa depan tentu akan menambah resiko tersebut,” tandas Matt.(RA)