JAKARTA –  Proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik yang dicanangkan Pemerintah pada 2006-2015 mendorong ekspansi PLTU besar-besaran di Indonesia, dan kini menjadi beban keuangan bagi PT PLN (Persero) dan anggaran negara. Percepatan pembangunan energi terbarukan dan penghentian operasi PLTU secara bertahap dapat menjadi solusi masalah ini, mengingat subsidi dan kompensasi ke PLN telah mencapai Rp 123 triliun pada 2022.

“Subsidi dan kompensasi untuk PLN telah menjadi beban besar APBN, dan akan tetap demikian dalam tahun-tahun mendatang,” kata Mutya Yustika, penulis laporan dan Analis Keuangan Energi IEEFA. “Pemensiunan PLTU batu bara secara bertahap menawarkan sejumlah manfaat, seperti berkurangnya dampak volatilitas harga batu bara dan turunnya biaya perawatan secara signifikan.”

Berdasarkan laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Pathways to Financial Sustainability for PLN through Renewable Energy Development disebutkan bahwa masifnya pertumbuhan kapasitas PLTU, beban keuangan PLN juga turut meningkat lantaran adanya kewajiban kontrak dari Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Pada 2022, biaya operasi PLN mencapai Rp386 triliun atau meningkat 20% dari 2021 sebesar Rp 323 triliun, yang didorong oleh pembayaran listrik ke produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) dan biaya pembelian batu bara.

Biaya pembelian batu bara PLN pada 2022 tercatat mencapai 16% dari total biaya operasi. Biaya ini meningkat hingga 49% dalam lima tahun, dari Rp 42,41 triliun pada 2017 menjadi Rp 63,06 triliun pada 2022. Akan tetapi, peningkatan biaya tersebut tidak diikuti dengan pertumbuhan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara yang cukup besar, yang menandakan adanya potensi produksi energi yang tidak efisien.

Menurut Kementerian Keuangan, selisih antara rata-rata biaya pokok pembangkitan (BPP) dan tarif listrik akan menentukan besaran subsidi yang diberikan oleh negara. “Namun, mengingat penyesuaian tarif listrik dapat memicu sentimen negatif masyarakat, PLN perlu menurunkan BPP agar dapat mengurangi ketergantungan pada subsidi. BPP ini termasuk biaya bahan bakar dan pelumas, salah satunya pembelian batu bara,” kata Yustika.

Selain subsidi, Pemerintah juga memberikan kompensasi pendapatan pada PLN untuk menutup selisih tarif non-subsidi yang tidak naik sejak 2017. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat empat faktor yang mempengaruhi penyesuaian tarif non-subsidi, yakni tingkat inflasi, harga batu bara acuan (HBA), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dan kurs rupiah.

“PLN masih bergulat dengan harga batu bara lantaran nilai tukar rupiah dan dolar. Paparan harga batu bara yang menggunakan dolar terhadap PLN membutuhkan pengelolaan yang cermat, mengingat dinamika pasar dan fluktuasi mata uang,” jelas Yustika.

Per Desember 2023, PLN memiliki 20,4 gigawatt (GW) PLTU batu bara dengan 23% di antaranya telah beroperasi lebih dari 20 tahun. “Pemensiunan bertahap PLTU tua ini akan mengurangi biaya perawatan secara signifikan lantaran manfaat ekonomi pembangkit berkurang seiring usia,” tutur Yustika.

 

Energi Terbarukan Jadi Solusi

Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan juga akan membantu mengatasi masalah keuangan PLN. “Dengan terus turunnya biaya pengembangan energi terbarukan dan terus meningkatnya biaya operasi PLTU batu bara, saat ini  menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk mempercepat pensiun PLTU batu bara dan pembangunan energi terbarukan,” kata Yustika.

Dalam laporan IEEFA, Yustika mengungkapkan, Indonesia diperkirakan tidak dapat  merealisasikan target energi terbarukan. Hal ini karena anggapan salah PLN bahwa pembangunan energi terbarukan skala besar itu mahal. Padahal, kemajuan teknologi energi terbarukan telah membuat produksi energi menjadi lebih efisien, modal belanja serta biaya operasi dan perawatan yang lebih rendah, dan infrastruktur yang berkelanjutan.

“Secara global, biaya energi terbarukan, terutama surya dan angin, telah turun dalam lima tahun terakhir dan menjadi lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil, dan biaya panel surya diperkirakan akan terus turun,” jelas dia.

Menurutnya meski peraturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang mewajibkan pemanfaatan produk dalam negeri dalam produksi industrial meningkatkan biaya investasi energi terbarukan, biaya listrik rata-rata (Levelized Cost of Electricity/LCOE) surya dan angin tetap kompetitif dibandingkan dengan batu bara dan diperkirakan akan jadi lebih murah pada 2030.

“Kelebihan lain dari proyek energi terbarukan, utamanya surya dan angin, adalah teknologi tersebut bisa dibangun jauh lebih cepat dibandingkan dengan pembangkit listrik energi fosil. Seiring energi terbarukan menjadi lebih murah dari batu bara, mengurangi ketergantungan Indonesia pada batu bara dan mempercepat pembangunan energi terbarukan akan membantu upaya Indonesia memenuhi komitmen Perjanjian Paris dan target finansialnya,” ungkap Yustika.

Indonesia hanya memiliki waktu kurang dari tujuh tahun untuk merealisasikan komitmen Perjanjian Paris. Meski telah menetapkan target 23% pada 2025, namun kontribusi energi terbarukan di bauran listrik Indonesia hanya mencapai 13,1% pada 2023.