JAKARTA – PT PLN (Persero) akan menonaktifkan 5.200 unit mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tersebar di 2.130 lokasi yang saat ini masih dioperasikan dan menggantinya dengan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN, mengungkapkan konversi PLTD ke pembangkit berbasis EBT merupakan langkah paling masif dalam sejarah PLN. Ini menjadi gerakan PLN untuk mengurangi belanja di sektor BBM yang sebagian besar masih impor. Langkah tersebut juga menjadi eksplorasi sumber EBT di daerah setempat dan mempehitungkan pasokan di wilayah tersebut.

“Dari 5200 unit mesin PLTD yang terpasang dan tersebar 2.130 di lokasi di Indonesia akan dikonversi menjadi pembangkit EBT dengan total konversi sampai 2 GW,” kata Zulkifli dalam diskusi virtual, Senin (2/11).

Lebih lanjut dia menuturkan proses penonaktifan pembangkit listrik diesel akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama akan dilakukan di 200 lokasi terlebih dahulu dengan total kapasitas mencapai 225 Megawatt (MW). “Tahap dua, sampai dengan 500 MW, Tahap tiga sampai potensi 1.300 MW,” kata Zulkifli.

Menurut Zulkifli, program tersebut dapat memberikan manfaat besar kepada masyarakat di daerah terpencil, di antaranya manfaat ketersediaan listrik dengan energi bersih ramah lingkungan dalam skala lokal. “Kemudian, manfaat terus tumbuh, komoditas andalan dari daerah tersebut akan menjadi faktor ekonomi utama di waktu mendatang,” ungkap Zulkifli.

Muhammad Ikhsan Asaad, Direktur Mega Project PLN, mengatakan nantinya konversi PLTD akan dilakukan secara permanen, sehingga tidak lagi menggunakan skema hybrid. Pasalnya, hybrid hanya menambah biaya perawatan yang justru menambah beban PLN.

Jenis pembangkit yang akan digunakan untuk konversi PLTD ke EBT dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Solar (PLTS).

“Kami tidak lagi hybrid. 200 lokasi pertama ini kami forward looking hybrid biaya operasional tinggi, maintenance tinggi. Kami konsepnya ke depan tidak hybrid, tapi pasang solar PV dengan kapasitas diatas kebutuhan masyarakat sama baterainya sehingga bisa 24 jam. Bahkan lebih sehingga bisa dorong ekonomi tumbuh,” ungkap Ikhsan.

Ikhsan menyatakan ada tiga kriteria PLTD yang akan dikonversi oleh PLN, pertama adalah yang telah beroperasi lebih dari 15 tahun, lalu berlokasi di wilayah pedalaman. “Serta memiliki biaya pokok sangat tinggi ini yang jadi prioirtasi untuk 200 lokasi pertama,” tegas Ikhsan.

Energi Baru Terbarukan memang jadi fokus PLN untuk dikembangkan ke depannya. Berdasarkan data dari PLN, pada tahun 2019 sektor komersial dan industri mengkonsumsi 52% listrik yang diproduksi. Di sisi lain, beberapa pelaku di sektor tersebut memiliki permintaan yang semakin tinggi untuk energi terbarukan, sampai dengan 100% energi terbarukan. Hal ini mendorong PLN untuk melakukan langkah strategis yaitu meningkatkan kapasitas pembangkit EBT, salah satunya dengan melalui penerbitan sertifikat energi terbarukan (REC).

REC merupakan instrumen berbasis pasar yang menyatakan bahwa pemegang sertifikat menggunakan satu MWh (megawatt jam) listrik dari sumber-sumber energi terbarukan.

Pada tahap awal, PLN telah mendaftarkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang dengan kapasitas 140 MW dan berpotensi dapat menghasilkan REC sebanyak 993.000 per tahun.

“Penerbitan REC diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembangkit EBT untuk memenuhi target bauran nasional sebesar 23 persen pada tahun 2025, serta sebagai tanggung jawab PLN untuk menyediakan listrik bagi generasi saat ini dan mendatang. Komitmen ini hadir dalam semangat yang kami sebut sebagai Power Beyond Generations,” tutur Zulkifli.

Berdasarkan laporan IRENA 2017 dampak positifnya bagi perekonomian, percepatan energi terbarukan dapat meningkatkan PDB Indonesia sebesar 0,3 hingga 1,3 persen pada 2030 dan meningkatkan jumlah pekerjaan terkait energi terbarukan hingga mencapai 1,3 juta pada tahun 2030 dari sekitar 100.000 pada tahun 2017.(RI)