JAKARTA – Sengketa pajak yang membelit PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) ternyata berujung panjang. Bahkan hingga menyebabkan subholding gas Pertamina itu menderita kerugian sepanjang 2020. Pemerintah diminta tidak tinggal diam sehingga tidak menimbulkan kerugian di satu sisi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan pemerintah perlu memberikan perhatian pada sengketa pajak PGN atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah pemicu kerugian perusahaan pada 2020 sebesar US$264,7 juta.

Menurut Komaidi, sengketa pajak seharusnya menjadi perhatian pemerintah di tingkat Kementerian Koordinator. Dia menegaskan jika PGN menderita kerugian akibat membayar sengeketa pajak tentu akan berimbas pada setoran dividen ke negara.

“”Kalau kerugian yang disampaikan laporan keuangan paling banyak pajak. Itu seharusnya diselesaikan di pemerintah, masalah kantong kiri kantong kanan, kalau bayar pajak setoran deviden berkurang,” kata Komaidi, Kamis (15/4).

Komaidi mengatakan, perhatian berikutnya pada penetapan harga gas sebesar US$6 per MMBTU. Kebijakan tersebut juga menjadi menekan keuangan PGN. Apalagi serapan gasnya tidak optimal sehingga membuat keuntungan sebagai penyalur gas yang kecil tergerus biaya operasi.

Menurut Komaidi, perhitungan pemerintah yang menargetkan ada peningkatan serapan gas ketika harganya ditahan ternyata tidak sepenuhnya bisa terealisasi.

“Hal ini harus diperhitungkan pemerintah, sebenarnya enggak apa-apa, tapi volumenya banyak, tapi simulasi itu meleset sehingga kerugiaan tidak bisa terhindarkan,” kata dia.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII, mengatakan rendahnya serapan gas ini perlu menjadi perhatian pemerintah, karena dengan ditetapkannya gas menjadi US$6 per MMBTU industri harus lebih produktif.

“Pemerintah juga evaluasi kebijakan dari program harga gas khusus untuk industri tertentu itu. Karena setelah diberikan fasilitas itu industrinya gak bergeliat,” ujar Eddy.

Berdasarkan laporan keuangan PGN terlihat realisasi niaga gas bumi kepada industri dan komersial sepanjang 2020 mengalami penurunan 23% dibandingkan 2019 lalu. Padahal, harusnya dengan kebijakan harga gas khusus ini bisa mendorong industri yang memakai bahan baku gas lebih bergeliat.

“Konsep awalnya kan, keringanan harga gas itu agar industrinya meningkatkan kinerja menghasilkan produk dan bisa memberikan nilai tambah,” ungkap Eddy.(RI)