JAKARTA – Pemerintah dinilai terlalu banyak mengintervensi PT Pertamina (Persero) dalam pengelolaan blok habis kontrak atau terminasi, sehingga membuat perseroan memiliki pilihan terbatas dalam rencana pengembangan.

Pri Agung Rakhmanto, Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengungkapkan ada salah kaprah dalam mengimplementasikan regulasi. Akibatnya intervensi demi intervensi terus dilakukan pemerintah yang dampaknya akan dirasakan nantinya oleh badan usaha.

Penentuan mitra sewajarnya ditentukan Pertamina, bukan oleh pemerintah. Proses pemilihan mitra  biasanya ditentukan saat operator sudah mendapatkan persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) 1, bukan malah sebelum PoD ditetapkan. Setelah itu baru nanti dilakukan sharedown oleh kontraktor pengelola.

“Jangan dikaitkan dengan keharusan menggandeng pihak tertentu. PI hubungannya kalau POD 1 sudah disetujui. Kalau dicampur adukan urusan PI itu untuk mengakomodir kepentingan tertentu, saya setuju kalau Pertamina menggandeng BPK,” kata Pri Agung di Jakarta, Selasa (10/4).

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 2881/13/DJM.E/2018 tertanggal 15 Maret 2018 yang ditujukan kepada Kepala SKK Migas dan Direktur Utama Pertamina, telah menentukan besaran hak partisipasi (participating interest/PI) dan kemudian menetapkan calon mitra Pertamina mengelola empat dari delapan blok yang habis kontrak pada 2018, yakni blok Tuban, Ogan Komering, Offshore Southeast Sumatera (SES) dan Sanga Sanga.

Untuk WK Tuban yang diberikan kepada Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina  Hulu Energi Tuban East Java akan menggandeng PT PetroChina Internasional Java Ltd dengan PI masing-masing 78,75% Pertamina, 11,25% dan sisanya 10% kepada daerah.

WK Ogan Komering diberikan kepada PT Pertamina Hulu Energi Ogan Komering yang menggandeng Jadestone Energy (Ogan Komering) Ltd 75% Pertamina dan 15% lainnya kepada partner atau mitra dan 10% menjadi milik pemerintah daerah.

WK Sanga Sanga yang ditugaskan kepada Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Sanga Sanga, PT Karunia Utama Perdana dan Opicoil Houston Inc dengan PI 67,65% untuk Pertamina sementara partner atau mitra mendapatkan PI 22,5% serta 10% menjadi hak pemerintah daerah.

Untuk WK Southeast Sumatera akan dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatera bersama dengan PT GHJ SES Indonesia dengan pembagian PI sebesar 70,55% Pertamina sisa 19,45% kepada mitra pengelola dan 10% lain milik pemerintah daerah.

Kardaya Warnika, Anggota Komisi VII DPR, mengungkapkan adanya intervensi membuat Pertamina sebagai kontraktor pengelola blok terminasi tidak leluasa menjalankan bisnis. Jika suatu blok sudah diberikan maka pemilihan partner sudah sepatutnya menjadi hak dari badan usaha itu.

Jangan sampai mitra yang ditetapkan  pemerintah justru memberatkan Pertamina sebagai kontraktor. Selain itu, mitra pengelola adabaiknya merupakan kontraktor eksisting, karena bisa mempermudah dalam pengelolaan blok nantinya.

Seperti diketahui ada dua nama perusahaan yang baru muncul menjadi partner Pertamina untuk pengelolaan blok terminasi yaitu PT GHJ SES Indonesia untuk di blok SES serta PT Karunia  Utama Perdana untuk di Blok Sanga Sanga. Keduanya diketahui bukanlah kontraktor eksisting di masing-masing blok.

“Harusnya Pertamina saja yang memilih karena dia tahu kebutuhannya, seperti apa mitra yang mau diajak bekerja sama,” tandas Kardaya.(RI)