JAKARTA – PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia (PPI) subholding power and new renewable energy Pertamina, paling pantas memimpin perusahaan induk (holding) panas bumi, menurut pengamat. Selain kinerja keuangan moncer, PGE juga memiliki sumber daya manusia di sektor panas bumi paling mumpuni ketimbang PT Geo Dipa Energi dan PLN Gas and Geothermal.

Abadi Purnomo, Senior Advisor Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), mengatakan PGE sangat layak menjadi pimpinan holding panas bumi. Dari neraca, luasan wilayah kerja (WK), jumlah pembangkit listrik panas bumi (PLTP), dan solvabilitas, dan SDM, PGE yang paling kuat.

“Meskipun Geo Dipa Energi (GDE) adalah Persero (dibawah Kementerian Keuangan) secara legal, PGE adalah badan usaha terdaftar yang bertanggung jawab secara hukum dengan pengurus lengkap, ada Dewan Komisaris dan BoD, namun neracanya di konsolidasikan ke PT Pertamina (Persero),” kata mantan Direktur Utama PGE itu kepada Dunia Energi.

Berdasarkan laporan keuangan publikasi, pada 2019, PGE memiliki asset sebesar US$ 2,57 miliar, naik dari US$2,55 miliar dibandingkan periode tahun sebelumnya. Adapun penjualan sebesar US$666,88 juta, naik dari US$ 660,83 juta pada 2018. Sementara itu, laba bersih malah turun dari US$ 107,32 juta pada 2018 menjadi US$ 95,56 juta pada 2019.

Kinerja sebaliknya justru diperlihatkan oleh Geo Dipa. Pada 2019, Geo Dipa mencatatkan penjualan Rp794,14 miliar, naik dari 2018 yang Rp783,55 miliar dan 2017 sebesar Rp742,18 miliar. Namun, laba perusahaan mengalami fluktuasi. Pada 2019 mencapai Rp138,48 miliar, turun dari Rp170,38 miliar pada 2018 dan Rp132,48 miliar pada 2017. Di sisi lain, beban pokok penjualan (COGS) Geo Dipa cenderung naik, dari Rp392,6 miliar pada 2017, menjadi Rp420 miliar pada 2018 dan Rp464 miliar pada 2019. Namun asset perusahaan naik tipis dari Rp3,54 triliun pada 2017 menjadi Rp3,67 triliun pada 2018 dan Rp3,75 triliun pada 2019.

Hingga kini kapasitas terpasang pembangkit listrik PGE tercatat 672 megawatt (MW) dengan pengelolaan lima area panas bumi. PGE juga operator di tiga proyek pengembangan dan tiga lapangan eksplorasi panas bumi. PGE mengelola 12 wilayah kerja pengusahaan dan dua wilayah kerja izin panas bumi. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan 2019 total aset PGE tercatat sebesar US$2,58 miliar.

Adapun Geo Dipa saat ini memiliki dua pembangkit listrik panas bumi (PLTP), yaitu PLTP Dieng berkapasitas 60 megawatt (MW) yang tersambung ke jaringan Jawa-Madura-Bali melalui sistem interkoneksi. Selain itu, untuk memenuhi target usaha, Geo Dipa juga meningkatkan serta pengembangan kapasitas proyek Dieng 2 dan 3, masing-masing berkapasitas 55 MW.

Selain Dieng, Geo Dipa juga memiliki PLTP berkapasitas 60 MW di Gunung Patuha. Saat ini Geo Dipa memformulasikan rencana pengembangan PLTP Patuha Unit 2 dan Unit 3 masing-masing dengan kapasitas 55 MW yang merupakan pengembangan Proyek Patuha Unit 1.

Abadi menyebutkan kalaupun akan ‘menyapih’ PGE dari Pertamina, sebenarnya itu hanya memisahkan neraca PGE dari neraca Pertamina. “Assetnya kan bisa dikelola secara sewa,” ujarnya.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan rencana pembentukan holding panas bumi oleh Menteri BUMN perlu disambut baik agar menghasilkan sinergisitas yang lebih baik. Walaupun upaya ini pernah dilakukan antara Pertamina dan PT PLN (Persero) ketika melakukan kajian tahun 1990-an untuk membentuk PT Panas Bumi Indonesia.

“Hasil kajiannya juga sudah ada, tapi urung dibentuk. Bahkan, lapangan untuk dijadikan usaha bersama kala itu juga sudah ada,” ujar mantan Direktur Operasi PGE ini.

Surya menjelaskan, sejak krisis ekonomi 1998– yang berujung pada arbitrase international dan pemerintah kalah– dilakukan upaya negosiasi dengan penyelesaian diluar pengadilan. Muncullah perusahaan Geo Dipa Energi sebagai anak perusahaan Pertamina dan PLN yang sekarang sudah menjelma menjadi BUMN khusus dibawah Menteri Keuangan.

“Geo Dipa itu adalah anak perusahaan Pertamina dan PLN, yang diharapkan sebagai pengganti pembentukan PT Panas Bumi Indonesia (PT PI). Hanya saja kegiatannya tidak sebagaimana diharapkan,” ungkap Surya kepada Dunia Energi.

Dia menambahkan, manajemen Geo Dipa Energi cenderung dilaksanakan oleh mayoritas PLN dan sebagian Pertamina. Sementara itu, saham yang terbesar dipegang oleh Pertamina.

“Niatnya agar perusahaan berjalan dengan baik, dan cepat. Namun ternyata juga tersendat-sendat karena banyak faktor, termasuk komitmen para pemegang saham yang kelihatannya belum sepenuh hati,” ujarnya.

 

Surya Darma, Ketua Umum METI

Menurut Surya, ketika sekarang muncul lagi wacana pembentukan holding panas bumi, perlu disambut agar pengembangan panas bumi Indonesia dapat lebih cepat karena PLN yang menjadi single buyer ada di dalamnya dan juga dinakhodai oleh Menteri BUMN yang selama ini juga ditengarai belum memberikan dukungan sepenuhnya dengan upaya memanfaatkan panasbumi yang lebih besar.

Tentu saja upaya ini masih ada masalah lain yang harus dijernihkan terkait rencana IPO terhadap anak usaha Pertamina yang pasti sudah diperhitungkan dengan matang oleh Menteri BUMN untuk bisa mendapatkan respons yang baik dari pasar. Perusahaan yang akan IPO adalah yang memiliki nilai pasar yang baik. “Di antara anak usaha Pertamina yang memiliki kontribusi positif dan juga punya masa depan yang baik adalah PGE,” katanya.

Apabila holding panas bumi dibentuk, lanjut Surya, PGE akan lepas dari Pertamina, kecuali panas bumi jadi subholding, yang masih bisa dalam Grup Pertamina yang jadi holding. “Geodipa, tentu akan kembali seperti dulu akan menjadi anak usaha holding panasbumi dengan tugas khusus SPV dari Kementerian Keuangan,” katanya.

Menurut Surya, hingga saat ini PGE memang menjadi perusahaan nasional yang kompeten, fokus dan juga terbesar dalam energi panas bumi. Sedangkan anak usaha yang lain juga punya prospek yang segmennya juga berbeda. Karena itu, jika masuk ke pasar (IPO) pasti akan mendapat sambutan positif. Walapun, sebetulnya bagi negara, tetap ada kekhawatiran jika di IPO.

Dia mengingatkan agar tidak terulang kasus PT Indosat Tbk yang lama kelamaan akan mengecilkan peran Indonesia karena mengembangkan panas bumi butuh dana investasi yang besar yang jika tidak hati-hati akan menggeser posisi dari aset negara menjadi aset milik swasta secara perlahan lahan.

“Seharusnya kami lebih cenderung agar masukkan investasi itu tidak harus melalui IPO tapi bisa juga dalam bentuk kerjasama operasi. Sudah banyak perusahaan asing atau dalam negeri yang ingin melakukan kerjasama dengan PGE,” ujarnya.

Rekayasa Industri

Surya juga menyarankan agar perusahaan yang punya pengalaman panjang di sektor panas bumi dan memiliki aset besar yang jadi holding dan yang lainnya jadi anak usaha. Apalagi bisnis panas bumi meliputi tiga sektor, yaitu upstream, midstream, dan down stream. Menurut Surya, jika ada holding, kegiatan midstream bisa masuk dalam bisnis anak usaha, demikian juga di hilir yang selama ini dilakukan PLN. Karena itu, grus PLN bisa masuk di kelompok tersebut.

“Untuk midstream, bisa saja PT Rekind (PT Rekayasa Industri) yang selama ini banyak menggarap PEPC (PT Pertamina EP Cepu) bisa masuk dalam grup panas bumi sebagai anak usaha lain,” ujarnya.

Dicky Septriadi, Sekretaris Perusahaan PPI, saat dikonfirmasi Dunia Energi, mengatakan PPI siap mendukung dan mengoptimalan semua strategi terbaik dan aspirasi pemegang saham. (RA/DR)